Surabaya (ANTARA) - Perguruan tinggi punya peran penting dalam mengatasi permasalahan stunting atau "tengkes" yang bermakna kerdil (tidak dapat tumbuh menjadi besar). Sebab, di perguruan tinggi terdapat banyak intelektual dan pakar dari berbagai bidang ilmu yang bisa berkontribusi dalam menurunkan angka stunting.
Stunting tidak hanya masalah gizi, tapi juga masalah air bersih, masalah akses pada bahan pangan yang berkualitas, pengelolaan keluarga, pernikahan dini, dan sebagainya.
Sedangkan angka stunting di Indonesia sendiri masih sangat tinggi. Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6 persen. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4 persen. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14 persen dan standard WHO di bawah 20 persen.
Angka stunting yang berhasil dideteksi saat ini merupakan modal penting yang perlu segera diintervensi agar kelak tidak mengganjal capaian Generasi Emas di 2045, di mana kelompok anak yang ada sekarang menjadi penentu bonus demografi di usianya yang sudah produktif.
Pemerintah memperkirakan, dalam 22 tahun ke depan, sebanyak 70 persen populasi Indonesia berada di usia produktif pada rentang 15--64 tahun, sedangkan 30 persen sisanya memasuki kategori yang tidak produktif dengan usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun.
Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, akan membawa dampak buruk, terutama masalah sosial, seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Permasalahan stunting merupakan suatu hal yang kompleks. Karena itu, dibutuhkan kerja sama dan gotong royong dari berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini, tak terkecuali perguruan tinggi.
Dengan aspek persoalan yang sangat luas tersebut, pendekatan multidimensional atau lintas disiplin sangat perlu untuk dilakukan. Karena itu, peran para pakar maupun kegiatan-kegiatan mahasiswa dalam tridarma perguruan tinggi memegang peranan penting.
Sejauh ini, perguruan tinggi telah banyak berkontribusi untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Lewat program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mahasiswa dapat mengasah kemampuan dan mempraktikkan ilmunya secara langsung di tengah masyarakat. Dengan begitu mereka dapat ikut serta dalam mengakselerasi penurunan angka stunting di Indonesia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga telah menjalankan program matching fund atau pendanaan pendamping antara kampus dan mitra. Dengan program tersebut perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan mitra yang ada untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, seperti stunting, dengan pendanaan dari Ditjen Diktiristek.
Pada 2021 sudah banyak perguruan tinggi yang memanfaatkan matching fund Kedaireka untuk program penurunan angka stunting dengan hasil yang cukup menjanjikan.
Untuk mendukung percepatan penurunan angka stunting di Indonesia itu, Kemendikbudristek melakukan penandatanganan kerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). Pelaksanaan kerja sama itu merupakan upaya tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2001 tentang Percepatan Penurunan Angka Stunting.
Ruang lingkup dalam kerja sama itu di antaranya penyelenggaraan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dalam mendukung program kependudukan, keluarga berencana, serta penurunan stunting. Selain itu, implementasinya mencakup tri darma perguruan tinggi di bidang program pembangunan keluarga, kependudukan, keluarga berencana dan stunting.
Kerja sama yang dilaksanakan untuk waktu lima tahun tersebut mampu menumbuhkan kolaborasi yang baik antara dosen dan mahasiswa dalam mengimplementasikan serta mencari solusi, terkait permasalahan percepatan penurunan stunting dalam skala nasional.
Berdasarkan laporan BKKBN setidaknya sudah terdapat 321 perguruan tinggi yang turut melakukan kerja sama dengan perwakilan BKKBN tingkat provinsi.
Pada kerja sama dalam percepatan penurunan stunting itu terdapat dua program inovasi yang digagas. Pertama, program Perguruan Tinggi Penting yang melibatkan perguruan tinggi sebagai partner dalam bersama mengurangi angka stunting. Output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah policy brief dan analisis situasi yang akan dijadikan rekomendasi pada saat audit stunting di kabupaten/kota.
Kedua, program Mahasiswa Penting yang melibatkan langsung mahasiswa dalam percepatan penurunan stunting. Program itu diimplementasikan melalui tiga kanal yaitu MBKM, Kuliah kerja Nyata (KKN) tematik stunting, dan program pengabdian masyarakat lainnya.
Melalui MBKM, ada tujuh bentuk kegiatan yang dapat dilakukan yaitu Program Kewirausahaan Peduli dan Intervensi Stunting (Perwira Penting), Asisten Mengajar Satuan Pendidikan Peduli dan Intervensi Stunting (Asmendik), Proyek Kemanusiaan Peduli dan Intervensi Stunting (Prokem Penting), Praktik Kerja/Magang Peduli dan Intervensi Stunting (Praker Penting).
Kegiatan berikutnya, yakni Proyek Independen Peduli dan Intervensi Stunting (Proyeksi Penting), Membangun Desa Peduli dan Intervensi Stunting (Bangdes Penting), dan Riset Peduli Terpadu dan Intervensi Stunting (Rindu Penting). Program MBKM ini sudah berjalan setidaknya di empat provinsi, yakni Jawa Tengah, NTB, Riau, dan Aceh.
KKN tematik
Salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan KKN tematik stunting ada di Kota Surabaya, Jawa Timur. Melalui kolaborasi antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi setempat, penanganan stunting menjadi maksimal.
Belum lama ini, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bersama Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih melepas 506 mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR yang akan mengikuti KKN tematik stunting di Kota Pahlawan. Pelepasan tersebut digelar di Gedung ASEEC Kampus B Unair pada Kamis, 5 Oktober 2023.
KKN kali ini, merupakan bagian dari program MBKM dan Belajar Komunitas Tematik Kampung Emas Madani 2.0 yang dilaksanakan mulai Oktober-Desember 2023. Para mahasiswa tersebut diterjunkan ke 153 kelurahan di Kota Surabaya. Kegiatan ini kan melibatkan berbagai disiplin ilmu dari fakultas dan perguruan tinggi yang bergabung di dalam Konsorsium Perguruan Tinggi Peduli Stunting di Jawa Timur.
Para mahasiswa akan menjalankan berbagai program di lapangan, antara lain adalah intervensi Gemerlap Pasca Salin (Gerakan Merencanakan KB pasca Persalinan) untuk meningkatkan cakupan KB, dengan menyasar ibu hamil, Laduni (Layanan Terpadu pra Nikah) yang bertujuan menurunkan kasus anemia, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau stunting sejak lahir dengan sasaran calon pengantin (catin).
Intervensi lain berupa Pandawa Lima (Pencegahan Pernikahan Dini Lewat Alim Ulama) atau mencegah terjadinya pernikahan dini. Selain itu juga ada program edukasi minat belajar ke jenjang perguruan tinggi untuk remaja santri dan santriwati, serta masih banyak intervensi lainnya.
Pada kegiatan itu, mahasiswa juga diingatkan bahwa masalah stunting bukan hanya sekadar soal makanan bergizi, akan tetapi ada banyak banyak hal lain yang mempengaruhi itu seperti halnya gaya hidup hingga perilaku masyarakat.
Meskipun stunting teratasi, namun gaya hidupnya yang tidak sehat juga bisa menimbulkan obesitas. Tentu itu juga menjadi masalah baru, sehingga perilaku masyarakat juga harus diberi edukasi sebaik-baiknya oleh mahasiswa.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama Perguruan Tinggi (PT) melakukan pencegahan dan penanganan stunting terpadu melalui upaya konvergensi, intervensi gizi sensitif, dan spesifik.
Para mahasiswa FK Unair tidak hanya berupaya melakukan penurunan dan pencegahan stunting, akan tetapi juga melakukan program pengabdian masyarakat lainnya mulai dari edukasi soal pernikahan dini hingga pencegahan kematian ibu dan anak. Maka dari itu diharapkan bisa mengedukasi soal pentingnya sekolah atau kuliah.
Seperti diketahui, di tahun 2021 prevalensi stunting di Kota Surabaya mencapai 28,9 persen (6.722 kasus), kemudian menurun signifikan pada tahun 2022 menjadi 4,8 persen (923 kasus). Tak hanya berhenti di situ, jajaran Pemkot Surabaya bersama Forkopimda, perguruan tinggi, dan stakeholder terus berjibaku mengentaskan stunting.
Akhirnya, pada akhir September 2023 lalu stunting di Kota Pahlawan terus menurun menjadi 529 kasus. Dengan adanya campur tangan dari perguruan tinggi, angka stunting di Kota Pahlawan terendah di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak pernah sendiri.
Para mahasiswa yang digerakkan itu diharapkan dapat mewujudkan Surabaya zero stunting sekaligus bisa berkontribusi mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menuju Generasi Emas di tahun 2045.
Dengan demikian, tujuan negara untuk mengentas kemiskinan, pengangguran, stunting, mengurangi kematian ibu dan anak, meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan meningkatkan ekonomi akan terwujud.
Maka dengan adanya kolaborasi pemerintah dengan perguruan tinggi melalui mahasiswa itu diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di tengah masyarakat, khususnya stunting.