Bondowoso (ANTARA) - Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak. Hadis Nabi ini berarti, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak".
Saat ini, umat Islam di Indonesia tengah merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW., yang lebih dikenal sebagai peringatan Maulid Nabi.
Ekspresi kecintaan umat pada nabi junjungannya itu diperagakan dalam berbagai ekspresi dan bentuk, hasil sinkretisme dengan budaya lokal.
Hal yang ekspresinya sama adalah pembacaan selawat atau puji-pujian kepada Nabi dan pembacaan penggalan sejarah hidup Nabi Muhammad.
Idealnya, ekspresi kecintaan kepada nabi itu tidak hanya ditunjukkan pada momen tertentu, setiap setahun sekali, melainkan menjadi bagian dari di setiap ruang dan waktu.
Sebagaimana hadis di atas, spirit yang dibawa oleh nabi sebagai utusan Allah adalah mengenai perbaikan akhlak. Akhlak itu adalah relasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Jika ditelisik lebih dalam, akhlak itu sesungguhnya tidak lepas dari tauhid atau keimanan. Artinya, semakin tinggi kualitas iman seseorang, maka kian baik akhlaknya. Akhlak penampakan dari isi terdalam jiwa manusia.
Di hadis lain, Rasulullah bersabda dengan lebih rinci bahwa "Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya."
Dari hadis itu, Nabi mengajarkan bahwa penerapan akhlak terbaik itu dimulai dari lingkup terkecil hidup seseorang, yakni keluarga. Karena itu Nabi menegaskan bahwa umat yang paling baik di antara yang lain adalah yang berbuat baik kepada istrinya.
Dalam banyak kisah, Nabi telah memberi teladan luar biasa atas sikap beliau kepada istrinya. Nabi tidak pernah membuat susah istrinya, apalagi menjadikannya menderita.
Suatu hari, Nabi pulang dan mendapati istrinya sudah tidur. Bermaksud tidak ingin mengganggu tidur istrinya, Nabi memilih tidur di depan pintu rumah beralaskan surban yang ia kenakan.
Untuk urusan tidak mengganggu tidur pulas istrinya, Rasulullah memberi teladan yang inspiratif dan cerita ini tidak pernah lapuk oleh waktu untuk kita ambil hikmah dan inspirasinya.
Mari kita renungi dan evaluasi perjalanan kita dalam berkeluarga, dengan latar budaya patriarki yang menempatkan laki-laki atau suami sebagai yang paling tinggi.
Katakanlah untuk urusan santai, seperti minuman kopi atau teh, barang kali masih banyak dari kita yang menempatkan aturan tak tertulis bahwa semua itu adalah tugas istri, tak peduli si istri sedang lelah.
Sementara itu dalam budaya patriarki juga dikenal aturan tak tertulis bahwa yang mengurusi anak adalah istri. Padahal jika mengacu pada tuntunan akhlak, alangkah indahnya jika tugas itu dikerjakan bersama dalam suasana kebersamaan dan penuh kegembiraan.
Akhlak terbaik dari suami kepada istri ini juga terselip aspek jangka panjang dari sekadar tugas suami untuk membuat istrinya bahagia. Lebih dari itu, akhlak ini juga mengajarkan kepada anak sebagai generasi penerus, bagaimana kelak mereka memperlakukan istrinya.
Untuk anak perempuan, pemandangan sikap baik ayah kepada ibunya yang dilihat setiap hari akan menanamkan keyakinan di alam bawah sadarnya bahwa berkeluarga itu adalah kebahagiaan.
Tidak sedikit anak-anak perempuan yang lahir dari keluarga dengan sosok ayah yang jauh dari akhlak harapan Rasulullah itu, kemudian memiliki rasa trauma dalam keluarga. Bahkan anak perempuan itu sampai pada kesimpulan untuk lebih baik tidak menikah karena pernikahan yang mereka saksikan adalah pertengkaran dan perempuan selalu menjadi korban.
Beralih ke lingkup yang lebih luas, bagaimana akhlak kita dengan tetangga, teman, dan masyarakat lain yang lebih luas?
Tuntunan dari Nabi untuk kita menempatkan akhlak sebagai pijakan dalam bertindak, sangat relevan dengan bagaimana kita menjaga perilaku dengan masyarakat sesama bangsa.
Perbedaan suku, ras, budaya, dan agama, termasuk pilihan politik, menjadi ajang bagi kita umat Muhammad untuk memeragakan sifat-sifat nabi dalam hubungan sesama warga bangsa ini.
Momen terdekat yang akan kita hadapi bersama adalah pemilihan umum serentak pada 2024, yang menjadi ukuran apakah kita benar-benar mencintai Rasulullah secara substantif atau sekadar slogan.
Ketika Rasulullah mengingatkan bahwa dia diutus untuk memperbaiki akhlak, umatnya harus memegang teguh nilai-nilai yang terkait dengan relasi sosial itu.
Terkait perbedaan pilihan politik, bukankah mencaci maki, menyebarkan informasi yang menjatuhkan pihak lain itu sangat jauh dari akhlak yang telah dituntunkan oleh Nabi.
Dalam ajaran lebih luas lagi, Nabi juga menyampaikan bahwa Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam. Rahmat itu mengandung makna pelindungan dan pengayoman kepada semua, bukan hanya untuk orang Islam.
Karena itu, kalau kita memang mendaku sebagai pecinta Rasulullah, sudah seharusnya kita menebarkan rasa aman dan damai, bukan sebaliknya, justru menebarkan rasa takut.
Atas nama agama, kehadiran kita yang membuat orang ketakutan, sesungguhnya sikap itu telah mengkhianati ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, suri teladan paling mulia dan paling baik akhlaknya.
Dalam sejarah hidupnya, Nabi dikenal selalu bersikap santun, bahkan terhadap mereka yang menyakitinya, sekalipun. Nabi tidak pernah mengajarkan dendam, apalagi melakukan pembalasan.
Karena itu, mari kita pelihara kesantunan, dari ruang paling kecil, keluarga, melebar ke tetangga, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan seluruh Indonesia, bahkan dunia. Shollallaahu 'ala Muhammad.