Surabaya (ANTARA) - Puluhan anak menjadi warga binaan di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan Kota Surabaya karena beberapa kesamaan nasib yang boleh dibilang ironi atau bahkan tragis.
Pertama, mereka diasuh di pondok sosial milik Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya itu karena berkebutuhan khusus atau disabilitas. Kedua, mereka telantar karena kondisi ekonomi orang tuanya.
Ketiga, satu persatu tiba di UPTD Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan dengan diantar mobil bak terbuka setelah diciduk oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dari jalanan.
Pondok Sosial Kalijudan memang khusus menangani anak-anak berkebutuhan khusus yang telantar di Kota Surabaya, sebagai bentuk kehadiran negara untuk mengintervensi demi masa depan kehidupannya menjadi lebih baik.
Terdata saat ini sebanyak 58 anak disabilitas yang dikumpulkan dari berbagai penjuru jalanan Kota Surabaya menjadi warga binaan UPTD Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan.
Sekitar 70 persen dari mereka tidak mengenal orang tuanya dan bahkan tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa apapun.
Salah satu anak warga binaan malah sampai sekarang tidak tahu namanya.
Seorang petugas Pondok Sosial Kalijudan dengan spontan memberinya nama Mukidi. Sebab saat ditemukan dari jalanan di tahun 2016, sedang viral di media sosial berbagai cerita komedi kehidupan dengan tokoh rekaan yang diberi nama Mukidi.
Lantas satu persatu petugas Pondok Sosial Kalijudan lainnya ikut-ikutan memanggilnya Mukidi. Tak lama kemudian teman-temannya sesama warga binaan ikut memanggilnya Mukidi.
Sampai sekarang pun yang bersangkutan tidak keberatan dipanggil Mukidi.
Tuna rungu
Mukidi adalah anak disabilitas tuna rungu. Pewarta ANTARA mencoba memanggilnya dengan nama Mukidi setelah menepuk pundaknya. Mukidi langsung merespons.
Sejak tahun 2016, atau tak lama setelah Mukidi dientas dari jalanan dan masuk resmi terdaftar sebagai warga binaan Pondok Sosial Kalijudan, sedang berlangsung pelatihan, mungkin lebih tepat disebut sebagai terapi rutin menggunakan media fotografi.
Mentornya adalah fotografer Leo Arief Budiman, yang sebelumnya telah aktif mengajak warga binaan setempat belajar kesenian membatik.
Leo merasa perlu membagi ilmu fotografinya bersama anak-anak disabilitas warga binaan yang kesulitan berkomunikasi itu. Siapa tahu kelak bisa menjadi media berekspresi di tengah segala keterbatasan anak-anak, termasuk dalam hal berkomunikasi, karena mayoritas adalah penyandang disabilitas tuna rungu.
Dari 58 warga binaan yang semula mengikuti pelatihan fotografi, nyantol lima anak yang sampai sekarang tampak benar-benar menaruh minat dengan serius, salah satunya adalah Mukidi.
Karya fotografi anak-anak disabilitas jalanan warga binaan Pondok Sosial Kalijudan ini dipamerkan di Basement Alun-alun, Kompleks Balai Pemuda, Kota Surabaya, 27 Juli - 1 Agustus 2023.
Beberapa karya fotografi juga telah dibukukan dengan judul "Tutur Mata", yang di sela penyelenggaraan pameran pada Jumat sore, 28 Juli 2023, dibedah serta didiskusikan bersama puluhan pengunjung yang hadir di Basement Alun-alun Kota Surabaya.
Saat diskusi berlangsung, tampak penerjemah bahasa isyarat duduk di antara pemateri di depan panggung, menerjemahkan setiap pembahasan yang terlontar di ruang diskusi, mengarah kepada anak-anak disabilitas pemilik karya foto.
Karenanya usai diskusi, pewarta ANTARA mengajak wawancara Mukidi untuk menjelaskan cerita foto karyanya yang turut dipamerkan di salah satu sudut Basement Alun-alun Kota Surabaya. Mestinya penjelasan menggunakan gerak-gerik tangan Mukidi bisa dimengerti dengan didampingi penerjemah bahasa isyarat.
Dengan percaya diri, Mukidi memberi penjelasan dengan menunjuk serta menggerakkan tangannya di depan karya fotonya yang tampak surealis bergambar detail jari jemari berwarna hitam putih.
Penjelasan panjang lebar menggunakan gerak-gerik tangannya ternyata susah dimengerti. Lantas sang mentor Leo Arief Budiman nyeletuk, "Mukidi sampai sekarang tidak bisa berkomunikasi".
Warna-warni kelam
Dari tiap karya dengan berbagai objek fotografi yang dipamerkan di Basement Alun-alun Kota Surabaya memunculkan gradasi warna-warni kelam, seakan menceritakan asal-usul anak-anak disabilitas yang sempat terbuang di jalanan Kota Pahlawan.
Bagi Mentor Leo Arief Budiman, tujuan awal membagi ilmu fotografi kepada anak-anak disabilitas yang sejak lahir tumbuh di jalanan itu adalah untuk membantu berkomunikasi melalui bahasa visual.
Bisa jadi anak-anak disabilitas ini memang benar-benar ingin berbagi tentang masa lalunya yang kelam. Akhirnya mereka bisa menceritakannya setelah menemukan bahasa visual melalui karya-karya fotografi.
Leo mengungkapkan, buku fotografi karya-karya anak asuhnya diberi judul "Tutur Mata", atas masukan dari fotografer senior Oscar Motuloh. Oscar menangkap anak-anak ini telah mampu menyampaikan segala sesuatu melalui visual karya-karya fotografinya.
Leo melihat rasa percaya diri anak-anak disabilitas jalanan tersebut semakin tumbuh dibanding ketika pertama kali dulu tiba di UPTD Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan Surabaya yang cenderung liar, namun terlihat minder, karena memilih menutup diri dari interaksi dengan orang lain.
Salah satunya Umay, penyandang disabilitas sindrom down, dengan kamera digital yang dikalungkannya, terlihat sibuk memotret satu persatu pengunjung perempuan yang melihat karya fotonya.
Umay juga tidak canggung ketika sejumlah pengunjung perempuan mengajaknya foto bersama.
Pameran fotografi ini merupakan gelaran yang kedua bagi anak-anak disabilitas warga binaan UPTD Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan Surabaya.
Pameran pertama mereka digelar secara virtual di tengah pandemi virus corona (COVID-19) pada tahun 2021 bersama komunitas fotografi asal Kota Surabaya. Karya-karyanya dalam pameran pertama tersebut sampai sekarang masih bisa dilihat di www.melihatbersama.com.
Fotografer Bahana Patria Gupta yang terlibat dalam penyelenggaraan pameran virtual bertajuk Disabilitas Berkarya di tahun 2021 itu menyatakan mengajak serta anak-anak warga binaan Pondok Sosial Kalijudan bukan karena kasihan. Melainkan karena karya-karya mereka telah menembus batas sebagai fotografi yang universal.
Pewarta foto koran harian KOMPAS itu menilai karya-karya fotografi anak-anak disabilitas Pondok Sosial Kalijudan Surabaya dengan segala keterbatasannya telah mampu menghasilkan sesuatu yang bisa dinikmati bersama.
Bedanya dengan manusia normal yang dikaruniai indera sempurna, seringkali hanya sebatas menggunakannya untuk melihat dan mendengar, serta kadang merasa dengan peka. Maka seni rupa menjadi salah satu upaya untuk memaksimalkan fungsi indera.
Sementara anak-anak disabilitas warga binaan UPTD Kampung Anak Negeri Pondok Sosial Kalijudan Surabaya, dengan segala keterbatasannya, melalui sarana fotografi mampu mengangkat derajat mereka.