Surabaya (ANTARA) - Pameran fotografi bertajuk AKARA yang digelar di Galeri Prabangkara menjadi ruang visualisasi ragam seni budaya Jawa Timur dari berbagai penjuru mata angin, mulai dari pesisir utara, selatan, hingga wilayah timur provinsi.
Ketua Pelaksana Pameran AKARA, Bahana Patria Gupta, menyebut jika pameran ini merupakan hasil kurasi atas karya 12 fotografer dengan total 60 foto yang telah merekam berbagai ekspresi seni tradisi di daerahnya masing-masing.
“Pameran ini berangkat dari keinginan lama kami untuk mengumpulkan teman-teman fotografer Jawa Timur dalam satu ruang bersama. Bentara Budaya memberi dukungan dalam rangka ulang tahun mereka, dan kami jadikan momentum ini untuk merealisasikannya,” kata Bahana saat ditemui ANTARA, di Galeri Prabangkara Taman Budaya Jawa Timur, di Surabaya, Kamis.
Bahana juga menjelaskan bahwa penggunaan media instalasi seperti kain dan tripleks dalam pameran ini bukan tanpa alasan.
Sebagai kurator, ia ingin menghadirkan suasana panggung rakyat yang sering dijumpai dalam pentas kesenian tradisional.
“Tripleks itu simbol pentas. Kesenian tradisional sering dipentaskan di atas tripleks. Tapi juga rapuh. Sama seperti seni tradisi yang rawan punah karena kurang regenerasi,” ucapnya.
Penamaan AKARA sendiri, lanjutnya, diambil dari bahasa Sanskerta yang dipilih karena dianggap merepresentasikan semangat yang dibawa oleh para pameris untuk menghadirkan seni dan budaya Jawa Timur di dalam ruang pamer.
Bahkan, kata dia, setiap foto dalam pameran tersebut dicetak dengan ukuran berbeda-beda untuk memberi tekanan visual yang berbeda pada tiap karya.
“Saya ingin penonton lebih intim dengan karya. Kalau terlalu besar kadang justru menciptakan jarak. Saya ingin pameran ini punya irama, tidak monoton,” ujarnya.
Salah satu pendekatan menarik yang dihadirkan dalam pameran ini adalah penggunaan kain sebagai medium cetak, karena ketika tergoyang angin atau terkena embusan udara dari pendingin ruangan (AC), foto tersebut tampak hidup dan bergerak.
Menurut dia, visual yang dinamis itu menggambarkan seni yang cair dan terus beradaptasi, seperti halnya tradisi yang harus bisa bertahan dalam kondisi apapun.
Ke depan, ia membuka kemungkinan pameran semacam ini dikembangkan dengan sentuhan teknologi, seperti penggabungan dengan elemen video mapping atau seni suara.
“Harapannya ke depan bisa menyatu dengan teknologi. Bisa video mapping, sound art, atau pendekatan lain yang membawa penonton masuk ke dimensi baru. Bukan sekadar melihat, tapi juga mengalami,” tuturnya.