"Garam sesendok itu rasanya asin, tapi garam sekapal akan terasa manis". Ungkapan itulah yang pernah disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad kepada para petani garam saat berkunjung ke Pamekasan, Madura beberapa waktu lalu. Barangkali cara pandang ini pula yang mendorong pemerintah untuk melakukan swasembada garam dengan cara meningkatkan produksi garam, agar memenuhi kebutuhan konsumsi garam nasional. Upaya yang dilakukan Gubernur Gorontalo pada periode 2001 – 2009 ini memang cukup beralasan untuk menjadikan masyarakat di negeri ini lebih berdaya, sebab impor yang dilakukan selama ini, seolah menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki pontensi garam yang cukup memadai. Padahal dari sisi geografis, negeri kepulauan ini sangat potensial untuk bisa memproduksi garam lebih banyak lagi, tidak hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi, akan tetapi juga kebutuhan garam Industri. Tapi mengapa selama ini justru bangsa ini mengimpor garam ke negara lain? "Ibarat haus di tengah genangan air", barang kali itulah istilah yang cocok atas kondisi yang terjadi pada bangsa ini, ketika negara kepulauan yang secara geografis potensial memproduksi garam ini malah mengimpor garam. Program swasembada garam yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2012 untuk swasembada garam konsumsi dan 2014 untuk swasembada garam produksi, sebenarnya merupakan gerakan yang bisa dibilang prorakyat. Substansi dari gerakan ini tidak hanya ingin menunjukkan identitas ke-Indonesia-an dalam tataran dunia, tetapi ada program pemberdayaan dan peningkatan ekonomi pada para petani garam. Saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur (16/9), Menteri Fadel Muhammad mengharuskan PT Garam membeli garam rakyat minimal Rp750 ribu per ton. Harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang berlaku ketika itu yang hanya dalam kisaran antara Rp450 ribu hingga Rp550 ribu per ton. Tidak hanya itu saja, sebagai upaya peningkatan produksi dalam berupaya mencapai program swasembada garam ini, pemerintah juga memberikan bantuan program usaha garam rakyat (PUGAR) kepada 2.057 kelompok usaha garam rakyat (KUGAR) se-Indonesia. Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (APGASI) mengaku optimis, program swasembada garam nasional ini akan berhasil. Apalagi gerakan yang dilakukan tidak hanya berupaya pada peningkatan produksi dengan bantuan PUGAR, akan tetapi juga pada kenaikan harga beli garam. Sekretaris APGASI Yoyok R Effendi mengaku yakin, upaya terpadu berupaya peningkatan produksi dan kebijakan menaikkan harga beli garam bagi petani, pada akhirnya akan mampu mengubah dari rasa bagi petani garam dari sekedar asin menjadi manis. "Tentu dengan catatan cuaca bersahabat, karena cuaca ikut menentukan kapasitas produksi garam," ucapnya menjelaskan. Sementara Dinas Kelautan dan Perikanan Pamekasan menargetkan, dengan adanya program PUGAR dari pemerintah ini, produksi garam di wilayah itu akan meningkatkan 10.000 ton dari sebelumnya hanya 92.000 ton per tahun menjadi 102.000 pertahun. Upaya peningkatan produksi ini bisa dilakukan dengan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan tambak garam yang ada di wilayah itu. Sebab, sebagus apapun program, jika tindakan penyimpangan masih saja terjadi semisal keberadaan garam impor yang harganya jauh lebih murah dari garam lokal sebagaimana juga ditemukan di Pamekasan pada Jumat (16/9) kemarin, tentunya akan menjadi hambatan tersendiri. Oleh sebab itu, cita-cita ideal yang dilakukan pemerintah menuju program swasembada garam ini tentu butuh dukungan dari semua pihak. Penanganan terpadu tentu akan sangat menentukan akan keberhasilan Indonesia Mandiri dalam hal produksi garam ini.
Menanti Manisnya Swasembada Garam
Senin, 19 September 2011 13:03 WIB