Bondowoso (ANTARA) - Lafal takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang di seluruh dunia, mulai dari Rabu, 28 Juni 2023.
Kumandang itu bersamaan dengan umat Islam yang sedang merayakan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Hari raya ini merupakan momentum napak tilas dan refleksi atas peristiwa sejarah Nabi Ibrahim a.s. bersama putranya Nabi Ismail a.s.
Suatu ketika Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah Swt. untuk menyembelih Ismail, putra tersayang dan hanya satu-satunya. Mendapat perintah itu Nabi Ibrahim tidak lantas semena-mena pada sang putra. Ia memilih jalan bercerita kemudian meminta pendapat Nabi Ismail. Luar biasa, Nabi Ismail mempersilakan bapaknya untuk segera menjalankan perintah itu. Keikhlasan Ibrahim dan Ismail menerima dan menjalankan perintah itu, kemudian oleh Allah dilimpahi keselamatan. Saat hendak disembelih, Ismail kemudian diganti oleh Allah Swt. dengan seekor kambing. Karena itu, kemudian, dalam ajaran Islam, tidak pernah ada perintah orang tua untuk menyembelih anaknya. Kurban cukup dilakukan dengan menyembelih sapi, kambing, atau unta.
Banyak kalangan yang memaknai peristiwa itu bukan sekadar sejarah mengenai kepatuhan dua orang nabi, yakni Ibrahim dan Ismail, dalam menjalankan perintah Allah.
Peristiwa itu mengandung pesan bahwa umat manusia harus melepas keterikatan dengan segala sesuatu, walaupun itu adalah anak yang kita cintai. Semua yang kita miliki dalam kehidupan ini hanyalah titipan dari Allah untuk kita pelihara dan rawat.
Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail itu sejatinya adalah perintah untuk menyembelih rasa kepemilikan kita terhadap anak dan segala hal yang selama ini telah dikukuhkan sebagai seolah-olah milik kita.
Kalau saat ini Umat Islam mengerjakan perintah berkurban sapi, kambing, atau unta, itu juga dalam rangka melepas kemelekatan kita terhadap harta benda yang secara "logika dualitas" merupakan hasil jerih payah ikhtiar kita.
Lewat peristiwa kurban ini, Allah ingin mengingatkan kita bahwa semua kepemilikan terhadap segala sesuatu hanya ilusi. Kalau "logika dualitas" meneguhkan rasa kepemilikan dengan pertimbangan kita yang mengusahakan segala sesuatu itu sehingga terkumpul menjadi milik kita, bagi kaum spiritual, sesungguhnya itu hanya tipuan logika. Semua adalah semata-mata pemberian dari Allah, dan ego diri mengelabui dengan pandangan seolah-olah semua itu adalah karena hasil ikhtiar kita.
Terkait melepas kemelekatan, diktum ini sebetulnya mengajak kita agar merdeka, dengan sandaran satu-satunya hanyalah kepada Allah yang Maha Agung. Sandaran kepada harta, jabatan, anak, famili, dan lainnya, hanyalah tipuan yang membuat jiwa kita melekat pada rasa kepemilikan.
Dalam ujaran yang lain disebutkan bahwa setiap kita adalah Ibrahim dan Ismailnya adalah apa yang selama ini kita daku sebagai milik kita: bisa harta, jabatan, gelar, dan lainnya. Semua yang semu itu harus kita sembelih setiap saat agar jiwa kita merdeka. Kita datang ke dunia tanpa membawa apa pun dan kelak kembali ke asal (penciptaan) juga harusnya tanpa membawa apa-apa, termasuk jiwa yang melekat pada harta, jabatan, gelar, dan lainnya yang selama ini tumbuh subur terpupuk oleh ego.
Pengibaratan bahwa kita hadir ke dunia ini layaknya seperti wisatawan, agaknya cocok untuk menggambarkan kemelekatan kita pada sesuatu itu.
Ketika kita masuk ke dalam areal tempat wisata tidak membawa apa-apa, maka saat keluar atau pulang juga tidak boleh membawa apa-apa. Ketika di dalam tempat wisata, katakanlah di pantai, kita diberi kesempatan sementara "memiliki" ban untuk berenang atau bermain di air laut. Kemelekatan terhadap ban sebagai milik sementara itu harus dilepas. Kemelekatan yang tidak dilepas adalah ketika kita tidak rela mengembalikan ban yang kita sewa kepada pemiliknya. Maka jika kita keluar dari areal pantai masih membawa ban, sudah pasti kita berhadapan dengan petugas atau satpam yang berjaga di pantai itu.
Bukan hanya disuruh mengembalikan ban, melainkan kita akan dicecar berbagai macam pertanyaan, mengapa berani membawa ban itu keluar areal tempat wisata.
Demikian juga dengan status kita yang sejatinya merupakan makhluk surga yang ditugasi untuk "berjalan-jalan" di Bumi, ketika kelak pulang (meninggal) tidak boleh membawa kemelekatan terhadap semua hal, seperti harta, jabatan, gelar, dan lainnya. Jiwa kita harus berpulang dalam kondisi betul-betul tidak terikat oleh apa pun terkait atribut dunia.
Kita berasal dari Allah, dan kita kembali kepada-Nya tanpa dibebani oleh sandaran-sandaran (isbat) jiwa selain hanya kepada Allah Swt.
Dalam khazanah tasawuf dikenal dengan istilah nafi isbat. Maksudnya, jiwa kita menafikan atau menghilangkan hal-hal lain, kemudian mengisbatkan (menetapkan/menyadarkan) jiwa hanya kepada Sang Pemilik Hidup, Allah Swt.
Sebagaimana kumandang takbir, "Allaahu Akbar", Allah Maha Besar. Ketika lafal ini dikumandangkan, maka yang lain "minggir" dari jiwa kita.
Kumandang takbir itu kemudian diikuti dengan lafal "Laailaaha illallaahu Allahu Akbar" atau tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Takbir berulang, kemudian ditutup dengan tahmid sebagai ungkapan syukur atas segala nikmat yang Allah limpahkan kepada kita.
Selamat Hari Raya Idul Adha. Selamat menyembelih ego atau hawa nafsu atas rasa kepemilikan kita pada sesuatu yang hanya Allah pinjamkan. Mohon maaf lahir dan batin atas semua salah, khilaf.
Kurban dan melepas kemelekatan
Oleh Masuki M. Astro Kamis, 29 Juni 2023 11:56 WIB