Puasa dan momentum jeda
Jumat, 24 Maret 2023 13:33 WIB
Bagaimana dengan jeratan ego yang super halus, namun juga mampu menyeret kita untuk lepas dari kefitrahan? Inilah yang tergolong dalam kategori kesombongan, termasuk yang paling ringan, yakni membanggakan diri.
Kisah iblis yang kemudian terkutuk, berawal dari sifat sombong ini. Awalnya iblis itu bernama Azazil, sebuah panggilan tertinggi untuk malaikat, karena Azazil memang terkenal kealiman dan selalu mengingat serta patuh kepada Allah.
Akibat terjebak dalam kubangan ego bahwa dirinya yang paling baik, Azazil kemudian menjadi pembangkang saat Allah memerintahkan semua malaikat untuk sujud kepada Adam. "Aku lebih baik daripada Adam," begitu jawaban Azazil saat menolak sujud pada Adam.
Bukankah sangat mungkin kita juga sering terjebak dalam pusaran ego merasa lebih baik daripada yang lain, seperti halnya Azazil? Puasa telah menyediakan waktu bagi kita untuk jeda dan keluar dari kesombongan-kesombongan yang melenakan itu.
Keadaan ini tentu sangat mengotori kualitas jiwa seseorang, dengan status agung sebagai khalifah di Bumi ini. Sepertinya layak direnungkan juga dengan sikap menilai rendah mereka yang masih menjual makanan di bulan pada siang hari. Bukankah keberadaan mereka justru sangat dibutuhkan oleh Muslim yang sedang terbebas sementara dari kewajiban puasa, seperti sakit atau sedang dalam perjalanan (musafir).
Jika masa jeda puasa itu tidak dimanfaatkan untuk muhasabah diri atau membersihkan jiwa, maka merugilah kita. Dengan kualitas puasa seperti itu, rasanya kita tidak pantas ikut-ikutan dalam rombongan kaum yang berstatus "meraih kemenangan" pada perayaan Idul Fitri.
Ibarat peserta lomba lari yang sebetulnya tidak mampu mencapai garis finis, malah ikut-ikutan melakukan selebrasi, seolah-olah dirinya sebagai pemenang.