Puasa dan momentum jeda
Jumat, 24 Maret 2023 13:33 WIB
Dengan berpuasa, perut menjadi kosong, rasa lapar/haus hadir, dan saat bersamaan pikiran menjadi lebih tenang dari rutinitas memikirkan hal-hal rumit, khususnya terkait dengan pemuasan ego atau hawa nafsu, seperti mewujudkan impian-impian yang bersifat material.
Dalam kondisi jiwa yang masih dikuasai oleh hasrat pemenuhan itu biasanya kita sering terjebak dalam kondisi jiwa yang iri, dengki, marah, termasuk jeratan yang paling tinggi serta halus adalah rasa bangga alias ujub.
Waktu-waktu selama kita terjaga atau tidak tidur saat berpuasa bisa kita manfaatkan untuk kontemplasi atau muhasabah sehingga mampu membaca di mana posisi jiwa kita terjebak. Katakanlah selama ini kita terjebak dalam rasa ketidakterpenuhan hasrat, baik harta, takhta, maupun status sosial, berpuasa menjadi waktu yang tepat untuk memetakan itu. Kita sadari bahwa kondisi itu membawa kita pada kedudukan sebagai umat yang kufur nikmat. Padahal sesungguhnya, telah banyak karunia Allah yang kita nikmati selama ini yang kemudian ter-hijab oleh hasrat-hasrat yang belum mampu terwujudkan.
K.H. Imam Barmawi Burhan, ulama di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, pernah mengingatkan seorang muridnya yang bercerita tentang keluhan hidup, dengan cara bersyukur. Menurut Kiai Imam, kesadaran syukur terbesar manusia adalah bahwa kita diciptakan oleh Allah menjadi manusia, bukan menjadi hewan, seperti kerbau atau sapi, bukan juga menjadi tumbuhan.
Kontemplasi di saat kondisi perut lapar cenderung menghasilkan perenungan yang lebih jernih, kemudian jiwa itu kita kembalikan lagi ke kualitas fitrahnya yang selalu dipancari cahaya Ilahi, dalam bingkai rahman rahim.
Ketika tersadari di mana jiwa kita bermaqom, segera istighfari, kemudian alihkan perhatian pada nikmat-nikmat hidup yang selama ini tidak pernah kita sadari. Jika, misalnya, kita terjebak dalam kondisi jiwa yang selalu menuntut orang lain selalu sama dengan kehendak kita, kita sadari lagi bahwa kita tidak punya hak apa pun agar orang lain selalu menuruti kemauan kita.
Jika hal ego itu telah mewujud dalam perbuatan, seperti mencaci atau merendahkan seseorang, terutama saat ini, lewat media sosial, segera istighfari juga dan disempurnakan dengan meminta maaf kepada pihak yang menjadi korban dari perilaku kita.