Surabaya (ANTARA) - Karya seni tak pernah pudar termakan waktu, sekalipun sang kreator sudah kembali ke pangkuan yang maha kuasa. Ungkapan itu menggambarkan keabadian lukisan mendiang Achmad Chusnan, seorang pelukis kondang asal Kota Surabaya.
Karyanya masih abadi, sempat terpajang mengitari dinding Galeri Surabaya, di komplek Balai Pemuda yang berwarna hitam itu. Tepatnya, mulai 5-12 Maret 2023. Pameran mengambil tema "Goresan Akhir".
Pameran, dikhususkan sebagai peringatan setahun kepergiannya. Achmad Chusnan menghembuskan napas terakhir pada 12 Maret 2022.
Karyanya banyak, sekitar puluhan yang dipajang. Sengaja dipamerkan ke publik memang. Itu wujud realisasi impian sang pelukis kondang sebelum wafat.
Pameran memang impian Achmad Chusnan. Sempat ada ajakan gelaran kolaborasi bersama rekannya, namun tidak kesampaian. Kondisi sempat COVID-19 juga.
Almarhum sosok pria kelahiran 18 September 1947. Lulusan Aksera atau Akademi Seni Rupa Surabaya, tahun 1969.
"Kami sekeluarga sepakat peringatan setahun wafatnya menggelar pameran untuk bapak sekalian penutupannya ada doa bersama," kata putra sulung Achmad Chusnan, Roman Chuza kepada ANTARA, Rabu.
Beberapa rekam jejak mengikuti pameran juga dipajang, yakni "Lukisan Pelukis Muda se-Indonesia" di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1973), "Pameran Besar Sri Lukis '77" di Pusat Pengembangan Kebudayaan Yogyakarta (1977), pemeran bersama di Fine Art Gallery Ubud, Bali (1991), "Pameran Keliling Yayasan Seni Rupa Indonesia ISTIQLAL '95 di Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar" (1995), dan pameran bersama Drawing Art Exibhition 1 "Surabaya Di Mataku" di Gallery House of Sampoerna (2001).
Achmad Chusnan merupakan pelukis beraliran realis. Lukisannya dibuat menggunakan pensil. Hitam putih semuanya, senada dengan dinding Galeri Surabaya. Berpadu temaramnya lampu di sana.
Lukisan karyanya banyak menggambarkan sikap kritisnya, banyak isu diangkat. Teknologi, alam, peradaban manusia, rasa nasionalisme, hingga penangkapan ikan besar-besaran.
Semua keresahannya tergambar jelas di semua lukisan hitam putih itu.
Ukurannya memang tidak sebesar lukisan cat akrilik memang, ada yang dibingkai 21,5x28 senti meter, ada juga yang 27x37 senti meter.
Kegusaran yang dirasakannya semasa hidup terpampang jelas. Tegas juga dia menggambarkan perasaannya sendiri, itu karakternya juga.
Roman mengaku papa begitu dia memanggil Achmad Chusnan, memang gemar membaca buku, koran juga.
Inspirasi untuk goresan lukisan banyak didapatkan dari sana. Tak jarang juga ide berkarya didapatkan dari hasil perjalanan ke suatu daerah.
"Iya jadi papa itu orangnya suka dan sering baca-baca untuk mencari inspirasi. Orangnya tegas," ucapnya.
Karya Achmad Chusnan juga banyak mendapatkan pengakuan, baik dari sesama pelukis maupun akademisi. Katanya, karyanya penuh makan, kuat pada penggambaran perasanaanya, pribadinya sang pelukis juga hangat.
"Kata pelukis nasional dan juga guru besar Unair kemarin, mereka sangat kehilangan pelukis nasional Achmad Chusnan," ujarnya.
"Papa senang dan amat peduli dengan teman-teman, kemudian senang silahturahmi. Ketimbang melalui telepon," lanjut Roman.
Tetapi di balik ketegasan dan sosok kritisnya, Achmad Chusnan merupakan sosok yang lembut. Perhatian pada keluarga. Roman sering mendapatkan pelajaran hidup.
Papanya meminta dia jadi orang sesuai dirinya sendiri. Tidak mau jadi seperti ayahnya.
Itu, kata Roman merupakan gaya papanya membentuk karakter kuat untuknya, sebagai pelukis.
Kebetulan, Roman ini juga seorang pelukis. Mengikuti sang ayah, Achmad Chusnan.
"Jangan persis papa. Maksudnya kamu boleh mengambil aliran surealis tetapi harus punya ciri tersendiri. Karena saya ya saya, papa ya papa, saya tidak sama dengan papa," ucapnya sambil memandang satu lukisan karya Ahmad Chusnan.
Melalui setiap lukisan yang dipamerkan melalui pameran "Goresan Akhir" diharapkan mampu menularkan semangat hidup dan berkarya Achmad Chusnan, kepada masyarakat semuanya.
"Bisa memberikan motivasi atau semangat untuk berkarya kedepannya," katanya.(*)
