Bondowoso (ANTARA) - Suatu siang di salah satu perumahan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, lima bapak-bapak berkumpul dan bekerja sama memasang umbul-umbul Merah Putih di halaman rumah. Mereka juga mengecat jalan dengan pola garis lurus warna putih secara bersama-sama.
Bondowoso yang dikenal sebagai penghasil penganan tapai dan kopi, bukanlah tergolong kota besar. Bahkan, kabupaten dengan ciri khas kesenian Singowulung itu sering dijuluki sebagai kota pensiunan, karena cenderung sepi dan jauh dari hiruk pikuk, seperti di kota-kota besar.
Meskipun demikian, kebiasaan hidup bergotong royong, khususnya di perkotaan, mulai terkikis, digantikan oleh pola hidup serba berbayar. Misalnya, ketika di masyarakat desa masih melestarikan gotong royong saat membuat atau memperbaiki rumah, maupun saat menggelar hajatan pernikahan anak, di wilayah perkotaan sudah diganti dengan membayar orang. Atau lokasi resepsi pernikahan tidak lagi menggunakan areal sekitar rumah, melainkan menyewa gedung. Alasannya sangat praktis, karena warga umumnya bekerja di sektor formal, baik sebagai karyawan di lembaga pemerintahan maupun di perusahaan swasta, maka waktu yang bisa digunakan untuk kegiatan bermasyarakat tidak leluasa.
Namun, siang di awal Agustus 2022 itu, fenomena kelima laki-laki penghuni perumahan seolah membantah bahwa budaya gotong royong hanya ada di masyarakat perdesaan yang agraris. Nyatanya, masyarakat dengan budaya urban juga masih bisa mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama.
Kalau melihat ke masa lalu, budaya bahu- membahu atau bekerja sama itu adalah watak dasar dari bangsa kita. Sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia juga diraih dan digerakkan oleh budaya kebersamaan itu.
Di masa perjuangan melawan para penjajah, baik Belanda maupun Jepang, tugas berperang tidak diserahkan kepada tentara saja, melainkan dipikul bersama oleh seluruh rakyat. Inilah yang kemudian memunculkan konsep sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta atau sishankamrata. Selanjutnya, jenis perlawanan di medan pertempuran ini memunculkan istilah perang gerilya.
Dalam perang gerilya ini, jiwa gotong royong mutlak diperlukan, termasuk peran dari warga yang tidak ikut terjun ke medan laga. Mereka turut memberikan perlindungan kepada para pejuang saat tentara rakyat itu terdesak oleh kejaran musuh. Masyarakat juga memberikan sokongan berupa pengadaan logistik, meskipun sekadar pemberian air minum kepada para pejuang yang melewati perkampungan di siang terik.
Kehidupan dan sistem sosial tidak bisa dihindari untuk terus berubah. Demikian juga dengan kehidupan sosial di masyarakat kita. Tuntutan ekonomi dan pekerjaan telah membawa kita pada pola hidup yang bersifat "nafsi-nafsi" atau sendiri-sendiri.
Bersyukurnya, munculnya pola hidup sendiri-sendiri itu masih bisa diselamatkan oleh kegiatan sosial keagamaan, seperti arisan mengaji atau Yasinan setiap malam Jumat atau kerja bakti bulanan di lingkungan perumahan dan sekitarnya.
Contoh lainnya adalah saat momen kematian, yang di beberapa tempat di masyarakat kota masih mengandalkan kerja bersama. Di tengah kesibukannya bekerja, warga di kota besar sekalipun, pada umumnya masih meluangkan waktu untuk melayat, termasuk saat proses pemandian jenazah hingga pemakaman. Namun demikian, di kota metropolis, budaya ini juga mulai tergerus, yang kemudian berganti dengan membayar orang.
Peringatan 17 Agustus yang digelar setiap tahun telah menambah ajang bagi masyarakat kota dan urban untuk memupuk serta menumbuhkan kembali jiwa gotong royong bangsa Indonesia.
Menggerakkan warga untuk guyub dalam menyiapkan perayaan HUT Kemerdekaan RI itu bukan perkara sulit, karena sejatinya kebersamaan atau gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa bangsa kita. Jiwa itu rupanya tidak bisa lapuk dan lekang oleh perubahan zaman.
Kasus pandemi COVID-19 dan pola penanganannya juga menunjukkan sifat guyub dari bangsa ini. Jumlah kasus penderita COVID-19 yang kini sudah melandai, juga tidak bisa dilepaskan dari peran semangat "berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing" dari bangsa kita. Masyarakat Jawa mengenal istilah "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung", yang artinya segala sesuatu yang merintangi tujuan kita harus disingkirkan.
Tokoh pemuda di Kota Surabaya Aryo Seno Bagaskoro yang juga penggagas serta koordinator "Relawan Surabaya Memanggil" dalam perbincangan dengan ANTARA mengemukakan bahwa semangat dan kepedulian warga Kota Pahlawan itu sangat tinggi untuk membantu sesama dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Ketika mengumpulkan ratusan warga, khususnya kaum muda, yang menyatakan siap menjadi relawan penanganan penyakit menular itu, sejak awal sudah diingatkan oleh Seno mengenai risiko terpapar, termasuk tidak ada sarana pendukung, namun mereka tidak mundur. Bahkan para relawan itu, dengan semangat tinggi, bersedia mengeluarkan dana sendiri untuk membantu pemerintah menangani pandemi.
Contoh lain adalah munculnya fenomena penyediaan makanan gratis bagi keluarga yang diisolasi karena positif terpapar COVID-19. Atau sejumlah warga menyediakan nasi bungkus di pinggir jalan yang diberikan gratis kepada pengojek daring atau pengendara yang melintas.
Melihat fakta-fakta itu, tidak peduli warga desa maupun kota, dengan bentuk dan ajang berbeda, terlihat bahwa mereka sama-sama masih mewarisi jiwa unggul dari leluhur kita, yakni bekerja bersama untuk kebaikan bersama.
Kesimpulannya, bangsa kita memang tidak bisa dipisahkan dengan sifat dan mental kegotongroyongnya. Maka, salah satu pekerjaan besar ke depan, yakni upaya pulih lebih cepat dari pandemi COVID-19 yang dalam dua tahun ini melanda Indonesia, akan mudah dilewati.