Jakarta (ANTARA) - Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Dr. Ir. Ian Yosef Matheus Edward memandang anak bangsa sudah mampu membuat platform digital alternatif apabila pihak Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) global tak kunjung mendaftarkan perusahaannya melalui Kementerian Kominfo.
Namun, ia juga mencatat bahwa hal tersebut bukan hanya soal kapasitas anak bangsa dalam membangun aplikasi dalam negeri, melainkan penting juga untuk disoroti tentang bagaimana agar aplikasi Indonesia bisa mencapai pasar global.
“Cuma bagaimana cara menjual atau dipakai secara global. Kadang-kadang, kita komunikasi atau pakai media sosial itu bukan hanya di dalam negeri, tapi sudah sampai ke luar negeri, mau perdagangan atau apapun sekarang inginnya bisa diakses dari luar,” kata Ian saat dihubungi ANTARA melalui sambungan telepon dari Jakarta, Rabu.
Mengingat permasalahan tersebut, Ian berharap pemerintah bersama asosiasi industri mendorong pengembangan PSE dalam negeri agar aplikasi atau platform digitalnya dapat menjangkau wilayah global.
Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan juga menilai bahwa Indonesia memiliki para insinyur (engineer) dan pengembang (developer) yang memadai untuk membuat platform, seperti platform permainan (game), hiburan, dan seterusnya.
Senada dengan Ian, Firman menambahkan bahwa letak permasalahannya bukan sekadar apakah anak bangsa mampu membuat platform alternatif, melainkan juga apakah aplikasi tersebut dapat diterima oleh ekosistem global.
“Ketika Indonesia bisa membuat itu (platform alternatif), selain diterima oleh masyarakat Indonesia sendiri yang pengguna media sosialnya sekitar 190 juta, apakah juga mampu diterima oleh ekosistem global,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Firman mencontohkan bagaimana aplikasi asal China, yaitu TikTok, kini sudah berhasil diterima secara global. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena TikTok memiliki kemampuan untuk membangun jejaring ekosistem global, sama seperti platform global lain yang sudah ada lebih dulu seperti Facebook, WhatsApp, atau Google.
Baca juga: SIG latih 40 UMKM manfaatkan platform digital untuk pemasaran produk
Sebelumnya pada Selasa (19/7), Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan pihaknya tidak takut apabila terjadi pemblokiran pada PSE global karena belum mendaftar melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Berbasis Risiko (OSS RBA).
“Saya tidak takut, kenapa? Begitu mereka tidak ada, banyak juga anak-anak bangsa yang membangunnya (platform alternatif). Dan bukan hal yang susah. Tapi harapan kami tetap membuka diri untuk mereka mendaftar, kan mereka juga sudah ada di Indonesia. Saya rasa perlu waktu saja,” kata Semuel.
Kementerian Kominfo menetapkan tenggat waktu pendaftaran PSE pada 20 Juli 2022. Bagi PSE yang tidak mendaftar, maka terdapat tiga tahapan sanksi yang akan didapatkan, dimulai dari teguran, denda administratif, hingga pemblokiran.
Apabila terjadi pemutusan akses pada platform besar di Indonesia, Firman berpendapat hal tersebut memang dapat berpengaruh terhadap masyarakat, terutama bagi keberlangsungan UMKM yang menjalankan bisnis melalui platform tersebut.
Walau akan menimbulkan kerepotan bagi masyarakat sebagai pengguna lama dan sangat bergantung pada keberadaan platform global, Firman mengatakan negara harus tetap menunjukkan kedaulatan melalui kebijakan wajib daftar PSE.
“Harapannya adalah ditemukan jalan tengah, tetapi kita punya aturan dan punya kedaulatan yang harus dihormati yang tidak bisa disepelekan oleh platform dengan mempunyai jumlah pengikut sangat besar,” kata Firman. (*)