Jakarta (ANTARA) - Jika pernah bertanya-tanya mengapa internet di beberapa daerah di Indonesia lambat, jawabnya adalah karena kondisi geografis menimbulkan tantangan dalam pemerataan akses internet.
Mungkin Anda pernah datang langsung, atau sekedar melihat dari internet, bentang alam Indonesia begitu beragam. Ada laut, bukit, gunung, dan masih banyak bentuk lainnya.
Melihat kondisi alam yang beraneka ragam, tidak mengherankan jika Indonesia pun butuh beragam cara supaya setiap daerah di Indonesia bisa tersambung ke internet. Dalam dunia telekomunikasi, terdapat istilah backbone, middle-mile dan last-mile, merujuk pada infrastruktur fisik telekomunikasi.
Baca juga: Satelit Nano karya anak bangsa diluncurkan April 2022
Lapisan backbone adalah jaringan tulang punggung, bisa dibilang ia adalah sumber pertama yang harus ada supaya telekomunikasi tersedia. Di Indonesia, jaringan tulang punggung berbasis kabel serat optik, yang digelar di darat dan bawah laut.
Jaringan tulang punggung ini saling terhubung, Indonesia memiliki sistem Palapa Ring untuk kabel serat optik di Indonesia bagian barat, tengah dan timur
Supaya jaringan telekomunikasi tersedia, jaringan tulang punggung ini perlu disambungkan ke jaringan terakhir (last-mile), biasanya berupa base transceiver station (BTS), atau yang sering disebut menara BTS dan menara seluler.
Melihat keragaman bentang alam Indonesia tadi, tidak semua daerah bisa dijangkau serat optik, baik yang ada di darat maupun di laut. Salah satu pilihan paling realistis bagi Indonesia adalah menggunakan satelit pada jaringan middle-mile.
Sekarang ini kita menggunakan sembilan satelit untuk kebutuhan telekomunikasi, terdiri dari lima satelit nasional dan empat satelit asing. Kesembilan satelit ini berkapasitas total 50GBps.
Sayangnya, jumlah itu belum mencukupi kebutuhan telekomunikasi Indonesia yang kian berkembang sejak keberadaan internet. Pada era digital ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika menilai setidaknya perlu kapasitas satelit 1TB.
SATRIA-1
Kebutuhan kapasitas satelit yang begitu besar ini mengantarkan Indonesia pada pilihan yang paling strategis, yaitu membuat satelit sendiri. SATRIA-1, nama satelit itu, dijadwalkan meluncur pada pertengahan 2023.
Satelit multifungsi, high throughput satellite, SATRIA-1 berkapasitas 150GBps, atau tiga kali lipat dari total kapasitas sembilan satelit yang saat ini digunakan Indonesia.
SATRIA-1 memang dirancang untuk sambungan internet. Dengan kapasitas tersebut, diperkirakan satelit multifungsi ini bisa menghadirkan akses internet kepada 150.000 titik layanan publik di Indonesia, yang belum terjangkau internet.
Satelit saat ini masih dirakit di Thales Alenia Space di Prancis, bobotnya mencapai 4,5 ton sementara tingginya 6,5 meter. Data terbaru dari Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi menyebutkan progres pembangunan SATRIA-1 saat ini sudah 68,3 persen.
Sambil membangun SATRIA-1, Indonesia juga menyiapkan satelit cadangan, Hot Backup Satellite, juga berkapasitas 150GBps. Satelit ini berfungsi sebagai cadangan SATRIA-1 sekaligus memberikan kapasitas tambahan.
Meski cadangan, satelit ini justru dijadwalkan meluncur lebih dulu dari SATRIA-1, yakni pada kuartal pertama 2023. Kedua satelit ini diharapkan bisa beroperasi pada akhir 2023.
Titik mula satelit nasional
SATRIA-1 bukanlah satelit pertama yang dimiliki Indonesia, sebagai penunjang telekomunikasi dan layanan digital bagi masyarakat ternyata negara dengan luasan terbesar di ASEAN ini sudah terlebih dahulu mengenal Satelit Palapa.
Dalam salah satu artikel yang dikeluarkan BAKTI Kominfo, nama Satelit Palapa sendiri kental akan unsur sejarah karena terilhami dari sebuah ikrar salah satu tokoh besar era sebelum penjajahan yaitu Patih Gajahmada.
Lewat ikrarnya Gajahmada berjanji ingin menyatukan Nusantara, maka tak heran kehadiran Satelit Palapa bisa sejalan membawa harapan menghubungkan Indonesia dari Sabang hingga Merauke lewat telekomunikasi.
Peluncuran Satelit Palapa juga menjadi momen menunjukkan taring Indonesia di mata dunia, karena di masa itu Indonesia menjadi negara ketiga yang memiliki satelit domestik setelah dua negara besar yaitu Kanada dan Amerika.
Menariknya, satelit ini berhasil selesai dalam waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 1,5 tahun lamanya dengan bermitra Bersama perusahaan asal Negeri Paman Sam Hughes Aircraft Company.
Satelit pertama milik Indonesia itu pun akhirnya meluncur dari Cape Kennedy, Florida, Amerika Serikat menggunakan roket Delta 2914 pada 9 Juli 1976.
Tanggal itu pulalah yang akhirnya ditetapkan secara nasional sebagai Hari Satelit Palapa.
Setelah berhasil mengorbit, terbukti satelit yang dikenal dengan nama Satelit Palapa A-1 itu berhasil memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat di Tanah Air kala itu.. Bahkan sinyal yang dipancarkan tidak hanya mencapai masyarakat nusantara tapi juga ke negara- negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, serta Filipina.
Dari situ, Pemerintah terus mengirimkan satelit- satelit lainnya untuk terus mendukung telekomunikasi yang lebih baik bagi masyarakat luas. Misalnya Satelit Palapa A-2 yang luncur di 1977 berfungsi sebagai satelit cadangan untuk Satelit Palapa A-1 hingga menuntaskan tugasnya di 1987.
Ada juga Satelit Palapa B-1 diluncurkan pada 1983 dan dioperasikan memenuhi kebutuhan telekomunikasi tidak hanya untuk Indonesia tapi juga negara- negara lainnya di Kawasan ASEAN.
Di balik kisah sukses tiga satelit generasi pendahulu, ternyata pada prakteknya Satelit Palapa sempat mengalami gagal orbit.
Hal itu terjadi Ketika Satelit Palapa B-2 diluncurkan, terjadi fungsi yang tidak maksimal pada mesin roket sehingga mengakibatkan satelit ini gagal orbit di 1984.
Meski begitu, akhirnya dalam waktu tiga tahun kemudian diluncurkanlah Satelit Palapa B2P sebagai satelit pengganti Palapa A-1 dan A-2.
Setelahnya di 1990, 1992, serta 1996 ada empat satelit lagi yang diluncurkan dengan nama Satelit Palapa yaitu Satelit Palapa B2R, Satelit Palapa B4, Satelit Palapa C1, dan Satelit Palapa C2.
Terakhir Satelit Palapa yang meluncur adalah Satelit Palapa D yang dibuat oleh Perusahaan Thales Alenia Space asal Prancis. Satelit itu menggunakan komponen SpaceBus 4000-B3 dan menjangkau Asia termasuk Kawasan Asia Tenggara dan tentunya Indonesia secara nasional.
Satelit Palapa D akan berhenti beroperasi di tahun yang sama dengan momen tahun politik yaitu 2024.
Dengan deretan satelit- satelit Palapa yang berhasil memberikan jaringan akses telekomunikasi tidak hanya secara nasional, tapi, juga regional tentunya impian Indonesia memiliki lebih banyak satelit bukanlah hal yang mustahil. Cita- cita untuk menjadi bangsa digital atau “Digital Nation” sangat mungkin tercapai apalagi kini satelit baru yaitu SATRIA-1 sudah dipersiapkan.
Masih di dalam bulan peringatan Satelit Palapa, diharapkan para pemangku kepentingan di Indonesia bisa menepati komitmennya untuk mempercepat transformasi digital lewat penyediaan SATRIA-1, yang diharapkan bisa memiliki kinerja lebih baik dan optimal dibanding Satelit Palapa sebagai generasi pendahulu.
Tugas kita saat ini sebagai masyarakat adalah untuk mengawal dan bersiap menyambut SATRIA-1 yang dipersiapkan untuk memperkuat infrastruktur digital di Tanah Air sehingga bisa mewujudkan visi “Indonesia Terkoneksi, Semakin Digital, Semakin Maju”. (*)
(*)
Sambut era digital dengan hadirnya satelit
Rabu, 13 Juli 2022 15:48 WIB