Jakarta (ANTARA) - "Jebakan", itulah kata yang terucap dari mulut Nawal Al Masri, yang mendapati anak laki-lakinya termasuk korban terluka saat mendekati daerah pusat bantuan AS-Israel, yang dikabarkan ingin memberikan bantuan kepada warga Gaza.
Sebagaimana dikutip dari CNN, Al Masri mempertanyakan maksud lokasi yang didirikan oleh AS-Israel untuk mendistribusikan bantuan, tetapi ternyata menjadi tempat penembakan terhadap sekelompok warga Palestina yang telah banyak menderita kelaparan akibat blokade Israel.
"Apakah ini yang mereka sebut bantuan? Bantuan ini untuk membunuh orang," kata Al-Masri kepada CNN.
Seperti diwartakan oleh berbagai media internasional, otoritas Gaza mengatakan 31 warga sipil tewas dan sekitar 200 orang lainnya terluka di dekat pusat bantuan di Rafah, Gaza selatan, pada Ahad (1/6) dini hari.
Para korban itu disebut ditembaki pasukan Israel (IDF).
Sementara itu, gambar yang diperoleh CNN juga menunjukkan banyak korban tiba dengan tandu di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, juga terletak di wilayah Gaza selatan.
Masih dari laporan tersebut, kepala rumah sakit lapangan itu, Marwan Al Hams, menyatakan bahwa mereka kewalahan dengan banyaknya jumlah korban yang masuk ke fasilitas kesehatan di sana.
Al Hams mengungkapkan, luka-luka yang diderita korban umumnya merupakan hasil dari korban luka tembak dan terkonsentrasi di wilayah bagian atas para korban.
CNN memberitakan pula pernyataan IDF yang menyatakan bahwa pasukannya melepaskan tembakan beberapa kali setelah mengidentifikasi "beberapa tersangka bergerak ke arah mereka, menyimpang dari rute akses yang ditentukan."
Al Jazeera melaporkan bahwa pembunuhan terhadap warga Gaza pada Selasa pagi itu terjadi di dekat pusat bantuan yang dioperasikan Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Peristiwa tersebut merupakan kejadian ketiga kalinya.
Berdasarkan data dari sejumlah pemberitaan media internasional, peristiwa sebelumnya terjadi pada 27-28 Mei Mei 2025, saat GHF mulai mendistribusikan bantuan di pusat distribusi di Rafah di bawah pengawasan IDF.
Kelaparan akibat blokade
Ribuan warga Palestina yang telah menderita kelaparan karena blokade Israel berkumpul untuk mengakses paket makanan yang akan diberikan, tetapi kerumunan yang begitu besar mengakibatkan kekacauan.
Warga Gaza banyak yang memanjat pagar dan mendorong koridor yang penuh sesak untuk mencapai pasokan bantuan itu, sehingga situasi menjadi ricuh bahkan terjadi penjarahan dan tindak kekerasan.
Pada 28 Mei, Kantor Media Pemerintah Gaza menyatakan bahwa IDF telah menewaskan sepuluh warga sipil dan melukai 62 lainnya selama 48 jam terakhir di lokasi distribusi bantuan.
Kemudian pada tanggal 31 Mei, sumber medis Palestina menyebut tiga warga tewas di Rafah saat mencoba mencapai pusat distribusi bantuan, serta Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan bahwa jumlah korban tewas di pusat distribusi bantuan Rafah telah meningkat menjadi 17 tewas, 86 luka-luka, dan 5 hilang, sebelum kejadian 1 Juni.
Tentu saja, dalam berbagai kejadian itu seperti setelah tragedi 1 Juni, IDF selalu berkilah dengan membantah telah menembaki warga sipil saat mereka berada di dekat atau di dalam lokasi distribusi bantuan.
IDF juga merilis rekaman yang diduga menunjukkan orang-orang bersenjata menembaki warga sipil yang akan mengambil bantuan.
Kemudian, seorang pejabat militer Israel mengakui bahwa pasukan melepaskan tembakan peringatan sejauh satu kilometer dari lokasi bantuan, beberapa jam sebelum fasilitas tersebut dibuka untuk warga Palestina guna mendapatkan bantuan, sebut media Israel.
Pejabat tersebut membantah adanya hubungan antara insiden tersebut dan "tuduhan palsu" terhadap IDF.
Duta Besar AS untuk Israel Mike Huckabee pada Senin juga membantah laporan bahwa orang-orang ditembak atau dibunuh oleh IDF saat mereka berusaha menerima kotak makanan kemanusiaan dari Gaza Humanitarian Foundation.
Gaza Humanitarian Foundation, atau disingkat GHF, merupakan sebuah organisasi yang berpusat di Delaware, AS, dan baru didirikan pada Februari 2025 untuk mendistribusikan bantuan di Gaza.
GHF disebut mendapatkan dukungan dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump, serta restu dari otoritas Israel pimpinan Netanyahu. Israel tidak mengizinkan badan PBB untuk mendistribusikan bantuan ke Palestina.
Kedok untuk Israel
Berbagai kritik terhadap GHF menyatakan bahwa lembaga tersebut sebenarnya hanya "kedok" untuk menyembunyikan maksud dari Israel selama ini, yaitu untuk mengurangi jumlah penduduk, bahkan hingga menguasai Gaza sepenuhnya.
Berdasarkan laporan dari lembaga pemberitaan nonprofit Democracy Now! dalam wawancara dengan jurnalis investigatif Jeremy Scahill, disebutkan bahwa lembaga bantuan itu dapat berdiri dengan bantuan dari orang-orang yang memiliki kaitan dengan CIA dan badan intelijen Israel.
Maksud dari pendirian itu, menurut Scahill, adalah karena Netanyahu kerap mendapatkan tekanan dari para pendukung Israel di AS bahwa mereka tidak ingin gambaran terjadinya kelaparan yang meluas di Palestina karena hal itu dinilai akan bisa menghambat kemampuan AS untuk terus mempersenjatai dan mendukung rezim Netanyahu yang selama ini telah mengebom Gaza secara brutal.
Lembaga bantuan dukungan AS-Israel itu berdalih bahwa mereka membuat pendistribusian agar tidak dapat dijarah oleh Hamas, padahal tidak ada bukti konkret selama ini bahwa Hamas mencuri bantuan yang masuk untuk Palestina.
Di lain pihak, Israel juga terus memfitnah Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) bahwa lembaga bantuan tersebut telah disusupi Hamas dan tudingan manipulatif lainnya, sehingga akibatnya parlemen Negeri Zionis itu "sukses" melarang operasional UNRWA.
Menurut Scahill, kebencian rezim Israel karena UNRWA itu berdiri di atas landasan kokoh hukum internasional yang menyatakan bahwa warga Palestina memiliki hak untuk kembali ke tanah air mereka yang dirampas oleh Israel.
Dehumanisasi warga Gaza
Dengan hilangnya UNRWA dan tindakan blokade yang membuat lembaga GHF buatan Israel-AS memonopoli pendistribusian bantuan, Scahill mengingatkan bahwa hal tersebut menciptakan "kondisi seperti ghetto", di mana orang-orang Palestina akan dipaksa untuk berdiri di ruang terbuka dalam kondisi panas sepanjang hari dengan dikelilingi pagar kawat berduri.
Pemandangan yang seperti sekumpulan manusia di dalam kandang itu sungguh memberikan tampilan dehumanisasi terhadap warga Palestina, dan bantuan yang diberikan juga tidaklah seberapa. "Ini semua hanya tipuan yang digunakan untuk melanjutkan genosida," papar Scahill.
Sementara itu, CNN memberitakan bahwa GHF mengumumkan bahwa lokasi distribusi akan ditutup pada Rabu ini karena persiapan logistik untuk menangani jumlah besar orang yang datang dengan lebih baik dan agar militer Israel dapat membuat "persiapan pada rute akses ke pusat-pusat tersebut."
Selain itu, tragedi di Rafah juga menimbulkan riak besar bagi GHF. Laporan The Washington Post pada Selasa (3/6) mengungkapkan bahwa perusahaan konsultan manajemen terkemuka AS, Boston Consulting Group (BCG), yang membantu mengembangkan dan mengelola GHF, menarik diri dari proyek GHF tersebut.
The Washington Post dengan mengutip juru bicara perusahaan, memberitakan bahwa penarikan diri perusahaan tersebut terjadi di tengah laporan insiden memalukan seputar distribusi bantuan kemanusiaan di daerah kantong Palestina tersebut.
BGC dipekerjakan pada musim gugur tahun 2024 untuk membantu mengelola operasional yayasan tersebut. Namun saat ini, BCG dikabarkan telah mengakhiri kontraknya dengan GHF.
Sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut, seperti dikutip Washington Post, mengatakan bahwa GHF akan berjuang untuk dapat terus berfungsi tanpa para ahli konsultan yang membantu menciptakan lembaga tersebut.
PBB desak penyelidikan
PBB juga telah memberikan respons tegas. Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak penyelidikan independen, dan menyeret para pelaku pembantaian ke pengadilan setelah otoritas Gaza mengatakan 31 warga sipil tewas di dekat pusat bantuan AS-Israel di Rafah, Gaza selatan.
"Saya terkejut dengan laporan warga Palestina yang tewas dan terluka saat mencari bantuan di Gaza. Tidak dapat diterima bahwa warga Palestina mempertaruhkan nyawa mereka untuk makanan," kata Guterres dalam sebuah pernyataan awal pekan ini.
Guterres menekankan bahwa Israel memiliki "kewajiban yang jelas" sesuai dengan hukum internasional untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk dan staf PBB dapat bekerja dengan aman.
Dewan Keamanan PBB juga dilaporkan kantor berita RIA Novosti akan melakukan pemungutan suara untuk rancangan resolusi yang menyerukan pencabutan segera dan tanpa syarat atas seluruh pembatasan yang menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, serta menuntut diberlakukannya gencatan senjata permanen di Gaza.
Sebelumnya, sejumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB telah berusaha mendorong resolusi gencatan senjata dan pembebasan sandera, namun rancangan resolusi terakhir pada November 2024 diveto oleh AS.
Sementara itu, bantuan kemanusiaan internasional UNRWA ke Gaza juga terus terhambat, dan pasokan penting masih tertimbun di Yordania. "Di gudang UNRWA di (ibu kota Yordania) Amman, hanya tiga jam berkendara dari Gaza, kami memiliki cukup pasokan untuk membantu lebih dari 200.000 orang selama sebulan penuh," kata badan PBB tersebut.
"Tepung, paket makanan, perlengkapan kebersihan, selimut, dan perlengkapan medis siap dikirim. Gaza membutuhkan bantuan dalam jumlah besar," kata UNRWA, seraya menekankan bahwa "aliran pasokan yang lancar dan tak terputus harus diizinkan masuk."
Dengan berbagai paparan tersebut, sebenarnya sudah jelas bahwa langkah yang sangat mendesak dilakukan adalah melakukan tekanan efektif dalam jalur diplomatik global agar Israel bisa membuka blokadenya dan membiarkan badan kemanusiaan internasional seperti UNRWA untuk memberikan bantuan.
Perlu ada ketegasan bahwa hukum humaniter internasional akan terus ditegakkan secara efektif, bahkan bila ada veto dari AS yang kerap mendukung Israel.
Selain itu, sudah semestinya untuk digaungkan bahwa tindakan membiarkan kelaparan bagi warga sipil merupakan bentuk kejahatan perang, sehingga mekanisme akuntabilitas seperti melalui Mahkamah Pidana Internasional harus dapat berjalan dan dipatuhi oleh seluruh pihak terkait.(*)