Surabaya (ANTARA) - Koperasi Merah Putih (KMP) merupakan harapan baru bagi kebangkitan ekonomi desa di Indonesia. Program ini menargetkan pembentukan sekitar 80.000 koperasi di desa dan kelurahan di seluruh nusantara, dengan dukungan pendanaan pemerintah pusat (APBN) dan sinergi dana daerah maupun desa.
Inisiatif berawal dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 sebagai strategi nasional untuk memperkuat swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan mewujudkan desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045.
Peluncuran Koperasi Merah Putih dijadwalkan bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, menandai komitmen tinggi pemerintah membangun ekonomi dari pinggiran.
“Ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan gerakan pemberdayaan untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” tegas Presiden Prabowo Subianto.
Dengan rata-rata suntikan modal awal Rp3–5 miliar per desa, KMP diproyeksikan menjadi motor penggerak baru perekonomian desa, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi ketimpangan pembangunan desa-kota.
Transformasi Ekonomi di Tingkat Desa
Selama ini, acapkali potensi besar ekonomi perdesaan terhambat oleh minimnya infrastruktur, akses pasar yang terbatas dan rendahnya literasi keuangan. KMP hadir membawa solusi transformatif melalui koperasi yang dimiliki dan dijalankan masyarakat setempat, perekonomian desa dapat bangkit mandiri.
Pemerintah menargetkan koperasi ini terbentuk di setiap desa sesuai karakteristik lokal, baik itu desa pertanian, nelayan, hingga desa terpencil.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing wilayah. Langkah adaptif tersebut guna memastikan KMP bukan program topdown semata, melainkan berakar pada kebutuhan riil di lapangan.
Skala program yang masif menunjukkan dampak ekonomi yang menjanjikan. Masing-masing satu koperasi desa diperkirakan berpeluang meraup laba Rp1 miliar per tahun, sehingga bila berjalan optimal total keuntungan jaringan KMP bisa mencapai Rp80 triliun per tahun.
Dana beredar di pedesaan pun berpotensi melonjak hingga ratusan triliun rupiah, bahkan tembus ribuan triliun apabila produktivitas desa meningkat pesat.
Hal tersebut memiliki dampak signifikan dalam memperkuat ekonomi nasional, di mana desa berperan sebagai lumbung pangan dan produsen utama.
Sehingga, tidak salah jika KMP digadang menjadi motor penggerak ekonomi desa yang mempercepat pembangunan pedesaan serta alat pengentasan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem di desa yang masih berjumlah sekitar 3,1 juta jiwa.
Lebih dari sekadar angka, transformasi ini berarti peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat desa. Koperasi Merah Putih diwajibkan memiliki beragam unit usaha yang menyentuh kebutuhan dasar warga.
Setiap koperasi minimal akan mengelola unit usaha seperti: Gerai sembako murah, penyediaan kebutuhan pangan pokok dengan harga terjangkau sesuai HET pemerintah; Apotek dan Klinik desa, layanan kesehatan dan obat-obatan bagi warga setempat; Unit Simpan Pinjam, akses permodalan dan tabungan bagi masyarakat desa; Gudang pangan/ Cold storage, fasilitas penyimpanan hasil panen pertanian, hortikultura, atau perikanan; Layanan logistik desa, pendistribusian barang strategis dan komoditas hingga pelosok.
Tidak tertutup kemungkinan koperasi juga mengembangkan unit usaha lain sesuai potensi setempat. Kombinasi unit usaha tersebut diharapkan memutus mata rantai tengkulak dan distribusi yang bertele-tele, sehingga petani, nelayan, dan pelaku usaha desa dapat memperoleh harga jual produk yang lebih adil serta akses barang kebutuhan pokok dengan harga wajar.
Koperasi menjadi pusat aktivitas ekonomi desa yang terpadu: mulai dari memastikan ketersediaan pangan dan layanan kesehatan dasar, hingga menggerakkan perputaran keuangan lokal secara mandiri.
Penguatan UMKM dan Kemandirian Usaha
Program KMP juga membawa angin segar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di pedesaan.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sektor pertanian menyerap 29% tenaga kerja nasional, dengan produksi beras mencapai 31 juta ton pada 2024. Belum lagi ribuan UMKM desa di sektor kerajinan, pangan lokal, tenun, batik, dan lainnya yang memiliki potensi besar namun kerap terkendala akses permodalan dan pasar.
Kehadiran koperasi di setiap desa dapat menjadi inkubator bagi UMKM lokal. Diantaranya; menyediakan akses modal yang lebih mudah, pelatihan manajemen usaha, hingga membuka jalan pemasaran produk ke skala yang lebih luas.
KMP mampu menghimpun para pelaku usaha kecil dalam satu badan kolektif yang memiliki daya tawar lebih kuat, baik dalam pengadaan bahan baku maupun penjualan produk akhir, sehingga keuntungan usaha lebih banyak tinggal di desa.
Pemerintah pun mendorong koperasi desa agar tidak berhenti sebagai unit usaha skala kecil, melainkan naik kelas menjadi entitas produktif berskala besar. Artinya, koperasi harus didorong masuk ke berbagai sektor strategis, dari mengelola pabrik pengolahan susu dan tekstil berbasis koperasi, hingga berani terjun ke perkebunan besar atau bahkan pertambangan.
Gagasan ini sejalan dengan cita-cita Mohammad Hatta yang sejak awal menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Artinya, KMP di masa depan bukan hanya sekadar “warung desa”, melainkan dapat berkembang menjadi korporasi kerakyatan modern yang dimiliki bersama oleh warga desa.
Langkah ini akan membuka peluang usaha dan lapangan kerja baru, serta mendorong inovasi di pedesaan.
Tidak kalah penting lainnya adalah peningkatan kualitas SDM di desa turut menjadi perhatian agar koperasi dapat dikelola profesional.
Pemerintah mengantisipasi tantangan keterbatasan tenaga terampil dengan melibatkan putra-putri daerah. Baik sarjana asal desanya yang masih menganggur untuk dilatih menjadi manajer atau pengelola KMP.
Bahkan, pensiunan profesional dan pekerja terampil korban PHK pun didorong bergabung, dengan prinsip mengutamakan mereka yang berasal dari desa bersangkutan.
Inisiatif ini bukan saja menyelesaikan persoalan SDM, tetapi juga memberdayakan generasi muda desa serta mengembalikan tenaga ahli ke kampung halaman guna membangun daerahnya sendiri.
Fondasi Menuju Indonesia Emas 2045
Dengan segala potensi dan terobosan tersebut di atas, maka KMP layak dilihat sebagai fondasi ekonomi kerakyatan yang kokoh untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Model pembangunan yang menitikberatkan pada kemandirian desa ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi berasas kekeluargaan.
KMP menghidupkan semangat gotong royong dalam bentuk nyata. Tentu, tantangan implementasi tetap ada, mulai dari koordinasi lintas sektor hingga penguatan kapasitas pengelolaan di tingkat lokal.
Namun, berbagai langkah mitigasi sudah disiapkan, dari pelibatan SDM lokal, integrasi dengan program desa, hingga pemanfaatan teknologi untuk transparansi.
Kita patut optimistis, sebab dalam beberapa tahun ke depan puluhan ribu desa tumbuh menjadi sentra produksi pangan, pusat layanan keuangan, dan basis UMKM unggulan.
Ekonomi desa yang kuat akan menjadi penopang pertumbuhan nasional yang inklusif, sekaligus mengurangi kesenjangan wilayah.
Pada akhirnya, KMP ibarat lokomotif yang menarik gerbong ekonomi rakyat menuju cita-cita Indonesia Emas 2045, yakni sebuah Indonesia maju yang sejahtera, adil, dan mandiri, dari desa untuk Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur