Surabaya (ANTARA) - Puasa dalam makna hakikat adalah keadaan dimana seorang hamba menahan diri dari melakukan hal-hal yang tidak baik. Aturan dasar puasa adalah menahan diri dengan tidak makan, minum dan berhubungan badan dengan istri atau suami di siang hari, kemudian menjadi metode bagaimana umat Islam menahan diri dari sesuatu yang di luar Bulan Ramadhan, hal-hal semacam itu dibolehkan.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya bahwa tidak sedikit dari mereka yang berpuasa tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah, kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.
Kaum sufi membagi puasa dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa orang awam, yakni semata-mata hanya menahan diri dari makan minum serta aktivitas seksual di siang hari. Ketua Umum PP Muhammdiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam buku bunga rampai "Puasa dan Kejujuran" mengungkapkan bahwa puasa tingkatan ini adalah puasa anak-anak dan merupakan tingkatan paling rendah dari derajat orang berpuasa.
Kedua, adalah puasa yang pelakunya, selain menahan makan, minum dan hubungan seksual, juga memperhatikan apa yang keluar dari mulut dan apa yang masuk ke dalamnya.
Robert Frager, mursyid tarekat dan profesor psikologi pada "Institute of Transpersonal Psychologi", Kalifornia, dalam bukunya "Psikolgi Sufi untuk Transformasi; Hati, Diri dan Jiwa" mengemukakan bahwa jenis kedua ini adalah puasanya para darwis atau orang yang menjadi murid dari syekh sufi. Puasa jenis ini, membutuhkan tekad yang lebih kuat, kepekaan dan disiplin yang lebih besar daripada yang dibutuhkan pada tingkat puasa pertama.
Pada tingkat ini, kalau seseorang mampu mendisiplinkan diri dari keinginan makan, minum dan hubungan seksual di siang hari, maka dia juga bisa mendisiplinkan diri untuk tidak mudah marah atau bentuk perilaku lain yang bisa melukai hati atau merugikan orang lain. Hal ini termasuk bagaimana kita mampu menahan pandangan yang tidak baik serta berbagai prasangka atau pikiran yang tidak membawa kebaikan.
Ketiga, adalah puasanya orang-orang suci. Puasa pada tingkatan ini, menurut Frager, adalah menolak diri untuk dikuasai oleh pikiran-pikiran duniawi dan menjadi latihan untuk terus menerus mengingat Tuhan. Para orang suci ini berpuasa terhadap segala keterikatan atau kemelekatan kepada dunia dan seisinya.
Allah juga menempatkan ibadah puasa sebagai hal yang istimewa. Allah menegaskan bahwa puasa itu adalah untuk Allah dan Allah yang akan membalas-NYA. Banyak ahli agama memaknai firman ini bahwa puasa terbebas dari sifat riya atau pamer.
Di sisi lain puasa secara tidak langsung juga mengajarkan umat untuk selalu dalam suasana jiwa mengingat Allah. Ketika seseorang sedang berpuasa, kemudian tergoda oleh makanan kesukaan, maka menahan diri karena saat bersamaan ia sedang mengingat Allah. Orang lain tidak ada yang tahu kalau saat puasa bisa makan atau minum di tempat tersembunyi, tapi ia menahan diri karena merasa diperhatikan oleh Allah. Inilah posisi kesadaran tertinggi seorang hamba yang selalu sadar kebersamaannya dengan Ilahi Rabbi.
Selain sebagai tingkatan, ketiga jenis itu juga bisa dimaknai sebagai perjalanan beragama dari paling dasar menuju ke tingkatan yang lebih substansial, yang pada puncaknya adalah meraih rida Allah.
Ramadhan adalah satu dari rangkaian bulan dalam satu tahun pada kalender Hijriah. Berpijak pada tingkatan puasa di atas, maka sejatinya Ramadhan adalah bulan madrasah atau sekolah bagi umat Islam yang pada bulan-bulan berikutnya hendaknya terus mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan baik itu.
Ketika di Bulan Ramadhan, kita dilatih untuk menahan sesuatu yang sebetulnya dihalalkan, hendaknya di luar Ramadhan kita juga mampu menahan segala sesuatu yang bepusar pada kehendak nafs atau ego.
Kalau Nabi mengingatkan umatnya agar di Bulan Ramadhan tidak hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga, hal itu bisa kita gunakan untuk membingkai batin kita bahwa di sela-sela puasa itu juga banyak godaan-godaan ego. Misalnya saat menyantap menu berbuka, apakah kita masih mampu menjaga kualitas jiwa dari keserakahan dan kemelekatan kita dengan nafsu. Di sela-sela itu, dapatkah kita mempraktikkan kepedulian sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, yang pada akhir bulan kita disyariatkan untuk mengeluarkan sebagian harta untuk zakat fitrah.
Puasa Ramadhan, sekaligus mengajarkan dua hal bagi umat Islam, yakni menahan diri untuk tidak melayani ego dan melepaskan diri kemelekatan pada sesuatu, khususnya harta benda. Dua hal ini bisa kita ringkas pada ajaran bahwa kita harus peka pada keadaan orang lain. Kita dihadirkan ke dunia bukan untuk hanya memikirkan diri sendiri, apalagi hanya memuaskan ego. Kita hadir untuk menjadi alat bagi kehadiran Agama Islam, yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam. Umatnyalah yang harus menjadi pewujud Islam sebagai rahmat itu.
Bersamaan dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang, puasa juga mengajarkan kita untuk mengerjakan hal-hal baik, seperti menjalankan ibadah yang sudah diwajibkan dengan peningkatan kuantitas sekaligus kualitas, kemudian menambah dengan ibadah-ibadah yang tingkatannya bukan wajib, tapi sunnah. Hal inilah yang mesti kita pertahankan juga di luar Bulan Ramadhan.
Maka, setelah Ramadhan, semangat jiwa Ramadhan itu bisa kita pertahankan di bulan-bulan berikutnya. Kebiasaan melemaskan ego, sehingga kita mampu menjaga kefitrahan ruhani, hendaknya menjadi kebiasaan yang terus menerus. Kalau pada puasa Ramadhan, hal-hal yang sebetulnya halal kita lakukan mampu kita hindari, selayaknya kita juga mampu menghindar dari melakukan hal-hal yang memang dilarang.
Mari, kita Ramadhan-kan semua bulan. (*)