Surabaya (ANTARA) - Ibadah Ramadan 1442 Hijriah yang bertepatan dengan Tahun 2021 Masehi ini masih sama dengan tahun lalu.
Aktivitas sosial masih dibatasi dan diawasi, beribadah di masjid atau mushalla masih tidak terlalu leluasa karena ada pembatasan jumlah jamaah. Bahkan, ada daerah yang melarang shalat berjamaah di masjid.
Pemerintah juga mengeluarkan aturan mengenai larangan mudik pada libur Lebaran tahun ini karena negara kita belum aman dari ancaman COVID-19.
Selain tentang mudik, kualitas puasa dan ibadah-ibadahku yang lain tampaknya juga masih tidak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan masih sama persis dengan praktik puasa pertamaku saat masih kecil.
Saat belajar puasa pertama sebelum masuk SD, aku masih ingat bagaimana rasanya lapar dan haus serta keadaan tubuh yang berbeda dengan hari-hari biasanya. Saat itu, selain lemas, tubuh terasa panas, sehingga saya lebih suka berlama-lama di kamar mandi untuk berkompromi dengan rasa haus dan lapar.
Puncaknya, ketika azan maghrib berkumandang, minuman es dan makanan disorongkan semuanya ke mulut. Maka, tak lama kemudian termuntahkan semua isi perut.
Satu hal yang patut aku "banggakan" dari hari pertama puasaku itu adalah saya tidak punya keinginan untuk "nyolong", seperti sekadar mencuri-curi kesempatan untuk minum karena haus tak terperikan.
Meskipun ibadah puasa bukan untuk dibangga-banggakan, tapi puasaku di masa kini rasanya belum juga bisa dibanggakan, paling tidak untuk diriku sendiri.
Petuah sucinya, puasa itu hanya tentang urusan hamba dengan Allah. Bahkan, saking tingginya nilai puasa itu, Allah berfirman melalui sabda Rasulullah SAW, "Setiap amal manusia adalah miliknya, kecuali puasa. Puasa milik-Ku. Aku sendiri yang akan mengganjarnya".
Hingga saat ini, puasa yang seharusnya membawa kesadaran sejati tentang siapa sebenarnya kita (manusia), masih "sami mawon" (sama saja). Kesadaran diriku masih 100 persen pada diri yang fisik (tubuh), bukan pada ruh yang di kesadaran itu Allah bangga-banggakan makhluknya ini sebagai ciptaan terbaik di hadapan para malaikat, ketika Allah menciptakan Nabi Adam AS.
Saat berbuka, aku masih belum beranjak untuk tidak memanjakan mulut dan perut sebagai instrumen tubuh yang berkaitan dengan lapar dan haus. Malu aku, pada diriku saat masih kecil, dan lebih-lebih kepada Allah, yang telah memberikan sarana pendidikan untuk pemurnian diri (jiwa) hambanya lewat syariat "shiyam" ini.
Malu aku yang belum mampu menahan amarah dan diam-diam mengidap kesombongan spiritual yang akut, merasa diri lebih baik dari orang lain. Mataku masih leluasa kujadikan alat untuk menggerahkan hati pada ego, misalnya ketika melihat tukang bangunan yang berjuang mencari nafkah untuk keluarganya, makan dan minum di siang hari.
Di media sosial, kini banyak beredar sindiran tentang puasa. Misalnya, "Kalau saat puasa kamu seharian hanya tidur, kucing pun juga bisa puasa". Sungguh, itu adalah sindiran buatku.
Demikian juga ketika aku memanggil-manggil anggota keluarga (isteri atau anak-anak) yang tidak segera merespons, intonasiku langsung naik.
Di kesempatan lain, aku masih belum mampu menghilangkan prasangka buruk atas peristiwa-peristiwa yang seharusnya menjadi sarana untuk menyempurnakan nilai puasa. Misalnya, prasangka tidak baik dalam komunikasi lewat media sosial, baik komunikasi pribadi maupun di grup-grup. Jangan tanya bagaimana dengan ibadah ritual. Lebih memalukan. Demikian juga dengan rasa ingin dipuja atas suatu perbuatan. Masih jauh dari kualitas ikhlas.
Makna puasa
Ulama terkemuka dengan predikat ahli tafsir, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan Al-Qur'an" menjelaskan bahwa puasa dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga "shiyam" hanya digunakan untuk "menahan diri dari makan dan minum dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, kata Quraish Shihab, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Kiai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam bukunya, "Agama Anugerah Agama Manusia", menguraikan bahwa puasa merupakan momentum istimewa yang hanya datang setahun sekali, di mana kita bisa mendidik diri untuk jujur dan ikhlas, utamanya terhadap diri sendiri.
Puasa juga merupakan momentum untuk mengadakan evaluasi tahunan tentang perilaku kita selama 11 bulan yang sudah, baik kaitannya dengan Tuhan kita maupun yang berkenaan dengan sesama hamba-Nya.
Hanya saja, masih menurut Gus Mus, karena puasa itu datangnya rutinan, hal itu juga berpotensi membuat kita terjerembab ke dalam rutinitas, sebagaimana hal-hal rutin yang lain.
Dia bisa datang dan pergi hanya sebagaimana angin lewat. Inilah kiranya yang menurut Gus Mus perlu diwaspadai. Jangan sampai mulut kita selalu berucap Ramadan bulan suci, tapi kesuciannya selalu terlewatkan.
Uraian dari Gus Mus itu kembali membawa kesadaran diri bahwa puasaku masih seperti itu adanya.
Tiba-tiba aku teringat pada Syekh Siti Jenar, salah satu wali di Jawa yang kontroversial itu. Kiai Haji Agus Sunyoto, sejarawan dari kalangan Nahdlatul Ulama yang baru beberapa hari lalu wafat, mengabadikan kisah Syekh Siti Jenar dalam trilogi novel yang kemudian menjadi bahan kajian untuk disertasi Dr. Sutejo, M.Hum (Rektor Sekolah Tinggi Keguruan dan ilmu Pendidikan PGRI Ponorogo) saat kuliah doktoral di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Meskipun lebih pada kajian sastra, Sutejo dalam disertasinya itu juga mengupas ajaran Syekh Siti Jenar mengenai operasionalisasi Rukun Islam, yang di dalamnya ada mengenai puasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, sebagaimana diungkap Sutejo, Rukun Islam hakikatnya ajaran moral-spiritual berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang bersifat transendental.
Menurut ajaran Syekh Siti Jenar, puasa seharusnya juga dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di luar Bulan Ramadan.
Kalau puasa secara syariat intinya menahan diri, maka operasionalisasinya, kita harus selalu menahan diri atas segala sesuatu yang tidak baik. Misalnya, ketika kita punya kesempatan untuk mengambil sesuatu yang bukan hak kita, maka kita harus berpuasa untuk melakukan hal itu. Atau ketika kita punya kesempatan untuk marah, maka kita hendaknya berpuasa dengan memilih menahan marah.
Demikian juga dengan prasangka buruk atau dalam dunia kekuasaan yang saat ini masih menjadi masalah besar bangsa Indonesia, korupsi. Inilah "puasa" yang tidak ada waktu berbukanya.
Hal ini tentu berbeda dengan "puasa" yang terkait dengan larangan mudik Lebaran 2021 yang memang terikat oleh waktu, yakni kita masih dalam kungkungan pandemi COVID-19. Maka, mematuhi larangan pemerintah untuk tidak mudik pada tahun ini kiranya bisa digolongkan sebagai operasionalisasi puasa juga.
Sebentar lagi, kita akan memasuki Idulfitri. Semoga kita betul-betul menjadi insan pemenang dalam perang melawan hawa nafsu selama Ramadhan ini. Begitu banyak godaan yang mengganggu kesempurnaan puasa dalam rangka menyambut datangnya hari kemenangan itu.
Ah, puasaku masih belum juga naik kelas. Mohon maaf, pembaca, tulisan ini adalah pengingat bagi diriku sendiri, bukan untuk orang lain.
Puasaku belum naik kelas
Kamis, 29 April 2021 20:24 WIB