Jakarta (ANTARA) - Alex Ferguson, Matt Busby, Arsene Wenger, Bill Struth, Willy Maley dan Guy Roux adalah enam dari segelintir orang yang puluhan tahun menjadi manajer klub sepak bola di Eropa.
Namun sepuluh tahun terakhir ini sulit menemukan ada pelatih seperti mereka, khususnya di liga-liga elite Eropa.
Yang sering terjadi malah pecat memecat pelatih sehingga jarang ada pelatih yang bertahan lebih dari lima tahun, apalagi sembilan tahun seperti saat ini sedang dijalani pelatih Atletico Madrid Diego Simeone.
Di lima liga elite Eropa, pencapaian Simeone ini hanya disamai oleh Christian Streich yang melatih Freiburg di Bundesliga dan hanya kalah dari Stephane Moulin yang sejak 11 tahun lalu melatih Angers di Ligue 1 Prancis.
Tapi Simeone jelas lebih hebat dari Streich dan Moulin karena selama sembilan tahun di bawah asuhannya, Atletico selalu finis tiga besar La Liga.
Atletico juga sudah dua kali runner up dan dua kali juara liga, termasuk musim lalu ketika semusim penuh kompetisi digelar tanpa penonton akibat pandemi COVID-19.
Selain itu, Atletico sudah dua kali hampir membuat sejarah menjuarai Liga Champions setelah gagal dalam dua final edisi 2014 dan 2016. Ini adalah dua dari tiga final Liga Champions yang pernah dijalani Atletico.
Yang makin membuat Simeone istimewa adalah dia melakukannya dalam liga yang sepanjang sejarahnya menjadi arena tempur dua raksasa Spanyol sekaligus Eropa dan dunia; Barcelona dan Real Madrid.
Mungkin itu sesulit klub-klub Bundesliga meruntuhkan dominasi Bayern Muenchen. Dan kalau saja Atletico bermain di Liga Inggris, Simeone bisa lebih sering lagi mengangkat trofi juara liga.
Simeone adalah satu dari segelintir manajer yang sukses baik sebagai pemain maupun sebagai pelatih. Karir kepelatihannya di Atletico bahkan menciptakan transformasi besar dalam klub ini hingga menjadi langganan Liga Champions dalam sembilan tahun terakhir.
Simeone juga tinggal selangkah lagi melewati pencapaian pelatih legendaris Atletico Luis Aragones sebagai pelatih yang mempersembahkan kemenangan terbanyak kepada seteru sekota Real Madrid ini.
Lahir dan besar di Argentina, Simeone menjadi pemain Atletico dari 1994 hingga 1997 yang terkenal dengan komitmennya pantang menyerahnya yang membantu Atletico menjuarai liga pada 1996.
Setelah enam tahun di Italia bersama Inter Milan dan kemudian Lazio, Simeone kembali ke Altetico selama dua musim lalu sejak 2003.
Pembawa pesan terbaik
Pada 2006 dia gantung sepatu untuk kemudian melatih empat klub Argentina dan sebuah klub Serie A Italia.
Dia sukses mengantarkan River Plate menjuarai liga Argentina pada 2007 tapi semusim berikutnya membuat klub ini hampir terdegradasi.
Ironisnya, Miguel Angel Gil si pemilik Atletico yang penerus pemilik sebelumnya yang tersandung korupsi, malah menarik Simeone.
Semua orang mengingatkan Gil agar jangan merekrut Simeone. Tetapi Gil bergeming. Yang ada dalam bayangan Gil adalah dedikasi besar Simeone sewaktu menjadi kapten Atletico.
Insting Gil benar. Simeone memang pilihan tepat. Satu tahu setelah musim pertama membawa Atletico naik ke urutan lima dari musim lalu yang finis urutan ketujuh, Simeone membawa Alteti finis di bawah Barcelona dan Real Madrid.
Sejak itu Atleti selalu finis tiga teratas, bahkan empat dalam delapan musim terakhir sebagai juara dan runner up.
Seperti Gil, Simeone memahami bahwa bagian indah dari sepak bola adalah kemewahan yang tak mampu dibeli klub ini. Dia membiarkan timnya memainkan sepak bola bertahan yang menjadi keharusan manakala tim yang dihadapi lebih kuat, tapi di saat lain dia membuat timnya bisa menyengat balik lawan-lawannya.
Dia mendorong hadirnya dedikasi dari pemain dan penggemar untuk klub ini. "Dalam arti pemasaran," kata Gil seperti dikutip ESPN, "dia adalah pembawa pesan terbaik kami."
Simeone mengakui tak mempunyai pengalaman mengelola klub sebesar Atletico. "Tapi Miguel Angel mengenal saya lebih baik ketimbang yang lain," kata dia. "Dia melihat sesuatu dari diri saya yang tak dilihat orang lain."
Kunci sukses kepelatihannya adalah kebersamaan dan kerja tim. Memang ada banyak pemain bintang di Atletico, tapi Simeone memperlakukan semua orang sama. Semua dituntut bermain dalam tim. Semua harus terus berlari, sampai stiker saja wajib membantu pertahanan.
Ketika dia pertama melatih Atletico, para pemain terkotak-kotak. Dia paham ini penyakit terbesar yang membuat Atleti tak bisa menyaingi Barcelona dan Real.
Untuk itulah dia merombak kultur itu. Dia menuntut komitmen tim dari semua orang. Dia menuntut adanya kesatuan yang absolut, sampai bakat pun dianggapnya urusan kedua.
Bakat memang penting, kata direktur olahraga Atletico Andrea Bera. Tapi di mata Diego, tanpa mentalitas bermain yang benar, maka pemain itu tak bisa berhasil di Atletico.
Banyak pemain dan mantan pemain yang merasa dibesarkan oleh tempaan mental yang kaku nan keras namun efektif yang diterapkan Semeone. Tanpa dia, saya tak bisa menjadi bek kiri terbaik di dunia, kata Filipe Luis yang pernah bermain bersama Atletico sejak 2010.
Tidak tergantikan
Simeone juga ahli menggembleng pemain muda termasuk Joa Felix dan Antoine Griezmann yang awalnya disebut anak yang lemah tapi berkat dia pulang sang striker bisa menciptakan 133 gol sebelum terayu Barcelona.
Tapi dia tak mau Atletico tergantung kepada satu atau beberapa pemain sehingga saat Griezmann merapat ke Barca dan kemudian Luis Suarez bergabung dengan Atleti, klub ini tetap bercokol di papan atas guna terus merongrong Barcelona dan Real.
Pelatih Argentina itu juga ahli dalam memompa semangat pemain, sampai Suarez yang merasa dihina Barca balik menghinakan Barcelona dengan membawa Atletico menjuarai La Liga musim lalu.
Berkat Simeone pula Atleti sehat luar dalam. Sehat di lapangan, sehat di kantong, ketika neraca keuangan klub-klub lain termasuk Barcelona dan Real disobek-sobek pandemi.
Tatkala Real dan Barcelona dililit utang menggunung masing-masing Rp11,9 triliun dan Rp14,4 triliun, Atletico malah untung Rp5,8 triliun.
Tak heran jika Simeone disayang pemilik dan penggemar Atletico. Pemain boleh datang dan pergi, tapi pelatih tetap Simeone. Apa pun konklusi kompetisi, dia tak tergantikan.
Kalau klub-klub lain, kalah lima atau enam pertandingan saja langsung mengganti pelatih, maka di Altetico manajer yang justru terlindungi. Pemain dituntut beradaptasi atau pergi, kata Filipe Luis.
Kisah suksesnya ini membuat klub-klub besar seperti Tottenham Hotspur, Chelsea, dan Manchester United kepincut. Real dan Barcelona juga begitu, walaupun yang dua ini mustahil dipilih Simeone karena alasan emosional.
Tetapi, selain kendala bahasa, tuntutan tinggi Simeone kepada pemain membuat klub-klub bakal sulit memenuhi standard dia.
Miguel Angel Gil sampai berpostulat klub-klub Liga Premier tak akan bisa beradaptasi dengan karakteristik dari metode melatih yang dimiliki Simeone.
Dalam beberapa hal, Simeone sekeras kepala Sir Alex Ferguson di Inggris yang tak peduli pemain bintang atau tidak, yang penting kekompakan tim. Tapi sikap ini bisa merusak zona nyaman pemain-pemain bintang Liga Inggris saat ini yang jarang bisa diusik oleh manajer sekeras kepala Jose Mourinho sekalipun.
Tetapi sikap seperti itu malah membuat Gil dan Atletico nyaman bersama Simeone.
Mereka bahkan tengah menunggu apakah Simeone bisa memanfaatkan krisis yang dialami Barca dan Real untuk menciptakan sejarah dalam 70 tahun terakhir, menjuarai liga dua kali berturut-turut. (*)