Jakarta (ANTARA) - Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 memasuki tahapan penentu yakni hari pemungutan suara yang digelar pada Rabu, 9 Desember.
Pemungutan suara menjadi tahapan penting karena berperan dalam memastikan pemimpin seperti apa yang nantinya akan melanjutkan keberlangsungan nasib daerah satu periode kepemimpinan ke depan.
Karena itu, pilihan masyarakat di bilik suara pada Rabu menjadi salah satu kunci menentukan ke arah mana nasib daerah akan dibawa oleh pemimpin yang akan terpilih berikutnya.
Apalagi, situasi saat ini sangat berbeda dengan kondisi normal. Indonesia sedang dilanda pandemik COVID-19 yang sudah berlangsung sekitar delapan bulan, dari Maret 2020 lalu.
Tentunya, kondisi daerah di tengah pandemik tidak lah mudah, daerah dan masyarakatnya tidak hanya menanggung permasalahan dampak kesehatan saja, tetapi banyak hal lain yang menyertai pandemik.
Seperti, persoalan ekonomi yang kian tergerus, kondisi sosial juga ikut terdampak pandemik. Permasalahan kesehatan, ekonomi dan sosial itu kemudian juga akan menambah panjang rantai persoalan lainnya di tengah masyarakat.
Untuk mengatasi hal itu pastinya daerah membutuhkan pemimpin yang mampu membawa wilayah serta masyarakatnya keluar dari belitan persoalan akibat COVID-19 yang berlangsung lama.
Pemimpin yang dibutuhkan tersebut, pemimpin berkapasitas, memiliki kapabilitas dan kompetensi dalam menangani pandemik di tingkat daerah, memulihkan perekonomian dan persoalan sosial yang terpuruk serta menjaga stabilitas daerah.
Guna merealisasikan kepemimpinan yang sesuai harapan, yakni pemimpin berkompetensi, kapasitas dan kapabilitas tentunya tidak bisa terwujud tanpa dukungan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat pada 9 Desember 2020 harus bergerak ke tempat pemungutan suara (TPS), menentukan pilihan mereka, memilih pemimpin yang benar-benar bisa mengubah nasib daerah menjadi lebih baik.
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik pun mengatakan kita membutuhkan pemimpin memiliki legitimasi yang kuat
"Kita kan sepakat untuk menangani COVID-19 ini secara bersama, sinergi, sinergi bersama-sama itu membutuhkan partisipasi, ini bisa hadir ketika kita memiliki pemimpin yang betul-betul dipilih oleh masyarakat," tutur Akmal.
COVID-19 sebagai pandemik dan bencana non-alam kata dia harus ditangani secara bersama. Hal itu dapat didukung dengan terpilihnya pemimpin oleh masyarakat secara langsung.
"Karena memang penanganan COVID-19 ini membutuhkan pemimpin yang memiliki legitimasi dan dukungan, partisipasi dari masyarakat," ucap-nya.
Partisipasi masyarakat menjadi salah satu kunci penting keberhasilan pemilihan kepala daerah. Akmal berharap dengan tingginya angka partisipasi masyarakat, akan semakin menguatkan legitimasi kepala daerah yang terpilih nantinya.
Jangan menjual suara
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengajak masyarakat Indonesia agar berpartisipasi dalam menentukan kepala daerah pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 9 Desember 2020.
Cara berpartisipasi itu kata dia dengan memanfaatkan hak pilih dimiliki untuk mendukung pasangan calon kepala daerah yang berkualitas, ketahuan rekam jejaknya dan bisa berbuat adil.
Jangan sampai hak pilih yang dimiliki disia-siakan dan tidak digunakan untuk memilih calon kepala daerah yang baik. Atau malah dijual dengan harga murah.
Misalnya, saja ditukar dengan beras atau uang transport, kemudian memilih pasangan calon yang memberi uang tersebut tanpa memikirkan kualitas-nya.
"Sekarang kita memiliki kesempatan untuk membangun daerah, dengan cara memilih pemimpin yang baik. Bisa bersikap adil, amanah dan membela kepentingan masyarakat," ujar Hidayat.
Hak pilih yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk menentukan pemimpinnya adalah buah reformasi. Dulu sebelum reformasi, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Setelah reformasi, UUD NRI Tahun 1945 memberikan kedaulatan kepada masyarakat untuk memilih langsung pemimpinnya, karena itu kesempatan tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Keputusan memberikan kedaulatan kepada rakyat Indonesia dilakukan melalui pertimbangan matang oleh berbagai kalangan termasuk akademisi dan tokoh agama. Karena itu kesempatan memilih kepala daerah ini harus digunakan sebaik-baiknya, bukan malah dikafir-kafirkan ataupun dibid'ahkan," kata Hidayat menegaskan.
Menggunakan hak pilih dengan baik merupakan salah satu cara menjaga dan melestarikan warisan para pendiri bangsa, termasuk ulama dan umara.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin mengajak seluruh pihak untuk sama-sama menolak adanya politik uang pada pesta demokrasi daerah 9 Desember 2020 ini.
Masyarakat menurutnya jangan mau menjual suaranya meskipun saat ini kondisi ekonomi memang sulit ditambah jika ada iming-iming atau pemberian "amplop" dan "serangan fajar" dari para pasangan calon kepala daerah sebelum hari pemilihan.
"Begitu juga dengan calon kepala daerah, jangan memanfaatkan pandemik ini, mencari celah 'membeli' suara masyarakat dengan memberi uang agar mau memilih mereka. Yakinkan lah dengan cara yang benar dan tepat meyakinkan bahwa mereka berkualitas, bukan cara-cara buruk," kata dia.
Pemimpin berkualitas akan dihasilkan jika cara-cara tercela seperti politik uang atau kampanye hitam tidak dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah.
Bawaslu harus ketat mengawasinya, jangan sampai lengah dengan politik uang yang dilakukan oleh peserta pilkada.
Satu hal lagi yang menjadi unsur penting agar terciptanya pilkada berkualitas, yakni kalau peserta pilkada dengan penyelenggara pemilihan tidak "main mata".
"Penyelenggara harus menjaga integritas-nya, dan peserta pilkada jangan mencari celah untuk "main mata", mengatur hasil pemilihan atau bentuk lainnya, termasuk intervensi penyelenggara," ujarnya.
Milenial
Analis Politik dan Direktur Indostrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam mengharapkan peranan kaum milenial dalam proses keberlangsungan pilkada tahun ini.
"Peran milenial menjadi pentingnya mengingat angka partisipasi-nya cukup tinggi," ujar Arief.
Peran milenial atau pemilih muda menjadi penting karena populasi pemuda tercatat lumayan besar, yakni mencapai 60 juta pemilih pada Pemilu 2019.
"Artinya, pemilih usia muda besar dan menjadi kelompok berpotensi memengaruhi atau menentukan pemimpin," tutur Desma Murni dari Change.org.
Kemudian, Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar berharap kepada kaum milenial untuk terlibat aktif dalam proses Pilkada 2020 tidak hanya dengan memilih saja, tetapi juga dalam mengawasi proses pemungutan suara.
"Bagaimanapun, pilkada kali ini menjadi agenda kita bersama. Kita harus maju untuk mensukseskan agenda ini pada 9 Desember besok. Kaum millenial punya kontribusi luar biasa untuk terlibat aktif dalam mengawasi proses Pemilu kali ini,” kata dia.
Koordinator Penggerak Milenial Indonesia Adhia Muzakki mengatakan Pilkada 2020 menjadi momentum untuk pembaharuan bangsa.
"Melalui ini kita ciptakan bangsa maju, terkhusus kaum milenial mesti melek politik, berpartisipasi aktif dalam demokrasi pilkada ini," imbuh dia.
Momentum yang sangat berharga itu tidak boleh disia-siakan apalagi jika para milenial lengah dan apatis terhadap demokrasi, maka hal itu akan mengakibatkan bom waktu yang nantinya merusak tatanan kenegaraan.
"Ayo kita berpartisipasi aktif dalam Pilkada Serentak 2020 dan jangan lupa taati '3M' (protokol kesehatan), jeli untuk memilih dan jangan golput," ujarnya.
Penggerak Milenial Indonesia (PMI) pun menyatakan siap mengawal Pilkada 2020 agar prosesnya berjalan damai dan aman
Adhia Muzakki menilai dalam keadaan pandemik, Pilkada Serentak harus menjadi perhatian bersama demi terciptanya demokrasi yang lebih baik.
Pihaknya akan mengawal dan memastikan proses Pilkada Serentak 2020 mampu berjalan dengan damai dan aman.
"Kami tidak ingin, Pilkada Serentak nanti mengganggu proses demokrasi kita. Dan kita akan kawal penuh proses pilkada kali ini," ujar Adhia.