Surabaya (ANTARA) - Sekelompok seniman muda asal Surabaya dari Komunitas MASTER (Masih Suka Berteater) menggelar pementasan drama monolog berjudul Pandemi untuk menyoroti penanganan COVID-19 di berbagai negara, khususnya Indonesia.
"Virus corona membuat banyak negara di dunia kewalahan menanganinya. Termasuk Indonesia yang kini belum tuntas menghambat penyebaran COVID-19," kata penulis naskah Pandemi, M Afrizal Akbar, di Surabaya, Selasa.
Pementasan monolog itu, kata dia, sebagai bentuk evaluasi dan kritik tentang kegagapan dunia menyikapi pandemik tersebut. Dalam pertunjukan juga dibahas terkait munculnya perdebatan banyak pihak tentang teori konspirasi atas senjata biologis menggunakan virus di berbagai negara itu.
"Kegagapan penanganan pandemik ini juga terjadi di Indonesia. Sejak awal COVID-19 ini dianggap lelucon. Walau sudah diingatkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) berulang kali, saat menyebar dan mewabah, pemerintah menjadi gagap dalam penanganannya," kata pria yang juga menjabat Sekjen IKA Stikosa-AWS tersebut.
Selain itu, lanjut dia, dampak pandemik juga melumpuhkan banyak sendi kehidupan di masyarakat.
"Banyak pekerja dirumahkan hingga dirumahkan. Orang miskin baru mulai bertumbuh. Program bantuan pemerintah juga mulai digulirkan, dari dana bantuan bagi korban dan masyarakat terdampak. Namun tak sedikit pula yang belum bisa merasakan bantuan. Ini menjadi kritik juga yang kami sampaikan melalui pertunjukan," katanya.
Terkait rasa kemanusiaan, monolog Pandemi ini menyuguhkan pesan tentang kekuatan masyarakat dalam bergotong royong, peduli sesama, hingga ciptakan lumbung pangan mandiri tanpa sentuhan pemerintah.
Di sisi lain, fakta satire juga disuguhkan saat banyak korban meninggal harus dicekal, rasa saling curiga, hingga tiba-tiba ada yang mati, setiap orang berlomba mengklaim itu corona, seolah bergaya layaknya petugas medis yang jago mendiagnosa.
Peran petugas medis dan paramedis sebagai benteng terakhir juga menjadi fakta yang disampaikan aktor Pandemi. Termasuk nasib dokter dan perawat diusir dari tempat tinggalnya, bahkan harus meregang nyawa karena corona.
Di penghujung pertunjukan, pesan disampaikan tentang upaya preventif memutus penyebaran COVID-19. Namun berbeda dengan imbauan pemerintah, aktor menyampaikan kalimat satire dengan logika terbalik.
Pementasan monolog Pandemi itu diproses dan disutradarai oleh Ryan Herdiansyah. Seniman yang juga anggota Teater Lingkar Stikosa-AWS. Pementasan yang difasilitasi Dewan Kesenian Kota Surabaya itu juga didukung oleh tim kreatif dari Teater Geo, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa).
Sementara, aktor Pandemi Gegeh B Setiadi menyebutkan bahwa monolog berjudul Pandemi ini tentang kegagapan negara menangani pandemi COVID-19.
"Ini adalah bagian dari upaya kami mempertahankan kreativitas dalam berkesenian. Di saat semua harus berhenti dengan social distancing, di tengah pandemik COVID-19, lakon Pandemi hadir. Lakon ini bercerita tentang kegagapan negara ketika terjadi pandemik COVID-19," kata Gegeh.
Gegeh menyampaikan bahwa lakon ini tetunya tidak berhenti, lantaran perkembangan pandemi COVID-19 masih terus berlangsung dan terjadi di tengah masyarakat.
Meskipun pementasan teater seperti ini bukan yang pertama bagi Gegeh sebagai pemain, tetapi penampilan secara langsung melalui streaming adalah pengalaman pertama baginya bersama seluruh pendukung pementasan monolog Pandemi.
"Ini pengalaman pertama. Pengalaman pertama tampil secara streaming dengan internet. Sebelumnya kami pernah tampil dalam beberapa pementasan teater. Ini menarik lantaran kami juga pertama kali menggelar pementasan melalui daring," ujar Gegeh. (*)