Jember (ANTARA) - Desa Rambipuji, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur memiliki potensi yang bisa dikembangkan menjadi sebuah desa wisata dan sentra industri tempe.
Desa Rambipuji memiliki luas wilayah sekitar 362.789 hektare dengan jumlah penduduk sekitar 11.800 orang dan desa tersebut memiliki enam dusun, yakni Dusun Curah Ancar, Dusun Kaliputih, Dusun Kidul Pasar, Dusun Krajan, Dusun Gudang Rejo dan Dusun Gudang Karang.
Konon tempe asal Desa Rambipuji merupakan tempe yang paling enak, dan sebagian besar warga di salah satu dusun di desa setempat mayoritas menjadi perajin tempe turun temurun.
Perajin tempa di Desa Rambipuji sebagian besar berada di Dusun Curah Ancar masih memiliki harapan untuk terus dikembangkan karena tempe selalu dibutuhkan oleh masyarakat.
Kepala desa bersama perangkatnya dengan didampingi pendamping desa dan badan permusyawaratan desa (BPD) diharapkan dapat mengelola dengan baik dana yang masuk ke desa dengan mengembangkan potensi desa dan melakukan berbagai inovasi, serta menciptakan kreativitas di desa.
Pasalnya, dana yang dikucurkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kepada desa cukup besar, baik melalui dana desa (DD) maupun alokasi dana desa (ADD) dengan harapan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa setempat.
Kenaikan anggaran dana desa juga harus diimbangi dengan peningkatan potensi ekonomi desa, sehingga dana desa harus dapat digunakan secara tepat guna untuk mengembangkan potensi menuju desa inovatif dan menjadi usaha produktif yang memajukan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun demikian, Kepala Desa Rambipuji Dwi Diyah Setyorini pengembangan potensi desa tersebut tidak semudah membalik telapak tangan karena pola pikir masyarakat yang lebih senang mencari pekerjaan instan ke Kota Jember daripada mengembangkan potensi desanya, sehingga perlu kesabaran untuk mengajak warga mengembangkan potensi desa.
Selain dari usaha tempe turun temurun, Desa Rambipuji memiliki sejumlah potensi wisata yang kini mulai berbenah dengan mendapat dukungan dana dari pemerintah desa, seperti Gumuk Gong dan Gumuk Dempet yang diharapkan dapat menjadi ikon wisata di desa setempat.
“Anggaran untuk mendukung kedua objek wisata tersebut dikucurkan secara bertahap sejak tahun 2015 untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya seperti pavingisasi jalan setapak dan jembatan gantung yang menghubungkan dua dusun di Gumuk Dempet,” katanya.
Selain itu, pihak desa menanam bunga refugia di sepanjang jalan menuju Gumuk Dempet untuk mempercantik desa wisata di sana, serta tanaman tersebut juga bermanfaat sebagai pengendali alami hama tanaman padi.
Gunung Dempet awalnya merupakan daerah yang tertinggal di Desa Rambipuji, namun dengan pembangunan sejumlah infrastruktur dan melakukan gebrakan untuk mendorong pengembangan potensi desa akhirnya kondisinya bisa lebih baik, namun terkadang masyarakat apatis terhadap gebrakan yang dilakukan tersebut.
Pihak desa menggandeng anak-anak muda yang tergabung dalam karang taruna untuk mengembangkan potensi wisata karena mereka adalah generasi penerus bangsa yang bisa mewujudkan Desa Rambipuji lebih baik dalam segala hal, serta dapat mengurangi kenakalan remaja dengan memberikan kegiatan yang positif.
Selain wisata Gumuk Dempet, Desa Rambipuji juga memiliki Desa Wisata Gumuk Gong yang memiliki batu besar menyerupai alat musik tradisional berupa gong dan merupakan peninggalan sejarah.
Pendapat dari sejarawan M.M. Sukarto Karto Atmodjo menyebutkan prasasti batu gong adalah peninggalan pada era neolithikum (batu muda) yang banyak melahirkan kebudayaan megalithikum (bangunan dari batu besar).
Dalam suatu penelitian atas prasasti yang ditemukan di Dusun Kaliputih, Desa Rambipuji tersebut, arkeolog Dr W.F. Stutterheim berasumsi bahwa prasasti batu gong tersebut merupakan prasasti tertua di Jawa Timur yang diperkirakan pada abad VI Masehi.
Prasasti dari peninggalan kerajaan kuno mulai dikembangkan sebagai modal pengenalan keberadaan batu gong, sehingga pemerintahan Desa Rambipuji memutuskan untuk mengolah dan mengembangkan kawasan sekitar Batu Gong dengan bekerja sama Perhutani yang memiliki kawasan setempat, sehingga bukit yang disulap menjadi sebuah tempat bersantai, berkumpul, dan wisata sejarah.
“Kami mendukung anggaran dengan mempercantik kawasan Gumuk Gong dan menambah sejumlah fasilitas pendukung seperti membuatkan rumah untuk batu gong, beberapa gazebo, tempat ayunan, toilet, dan spot swafoto, sehingga dapat menarik wisatawan,” ujarnya.
Kades yang akrab disapa Ririn itu mengatakan kedua objek wisata itu dikelola oleh badan usaha milik desa (Bumdes) dan pihak desa hanya mengucurkan anggaran untuk mendukung infrastruktur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan potensi pendapatan desa melalui kedua objek wisata yang mulai berbenah itu.
Sementara Samiyo, pengelola objek wisata Gumuk mengatakan kawasan wisata sejarah itu sering dikunjungi oleh wisatawan lokal saat akhir pekan untuk bersantai dengan keluarga karena ada beberapa gazebo yang disediakan untuk beristirahat sambil memesan sejumlah makan ringan yang disediakan di kantin.
“Pada saat tertentu banyak umat Hindu yang singgah ke watu gong sebelum menuju ke Pura Mandara Giri Semeru Agung di Kabupaten Lumajang,” katanya.
Untuk masuk ke Gumuk Gong, wisatawan tidak dipungut biaya masuk dan hanya dikenai biaya parkir kendaraan yang dipungut oleh pihak pengelola dari LMDH tersebut, sehingga wisata sejarah tersebut murah meriah dan bisa menjadi sarana alternatif untuk bersantai bersama keluarga.
Produk unggulan
Selain mengembangkan objek wisata, perangkat Desa Rambipuji juga mendorong usaha perajin tempe yang menjadi salah satu usaha turun temurun tetap memiliki harapan untuk terus dikembangkan karena tempe selalu dibutuhkan oleh masyarakat.
Menurut Kades Ririn, industri tempe awalnya berkembang stagnan di Desa Rambipuji karena sebagian warga menilai bahwa membuat tempe tidak menguntungkan dan prospeknya tidak bagus, sehingga banyak warga yang beralih profesi dan meninggalkan usahanya membuat tempe.
Namun ada sebagian perajin tempe yang masih memiliki semangat untuk mengembangkan industri tempe, sehingga pihak desa terus mendorong para perajin tersebut untuk mengembangkan usahanya dan memberikan pelatihan membuat beragam olahan dari tempe yang bisa dijadikan makanan ringan yang bernilai tinggi.
Ketika masyarakat sudah bisa membuat beragam olahan dari tempe, namun kendala yang dihadapi masyarakat adalah pemasaran dan tidak lakunya produk tersebut membuat perajin tempe merugi dan kembali membuat tempe sebagai bahan lauk pauk yang dijual ke pasar tradisional.
Ririn mengaku tidak patah arang mendorong masyarakat untuk terus melakukan inovasi dan mengembangkan industri tempe karena prospeknya cukup bagus, bahkan perajin tempe juga dapat mengurangi pengangguran di desa setempat karena padat karya.
“Saya berharap satu dusun memiliki satu produk unggulan untuk menggerakkan ekonomi di desa dan pembangunan outlet di depan kantor desa akan menjadi tempat menampung produk unggulan Desa Rambipuji,” katanya.
Untuk sementara, lanjut dia, outlet yang dibangun tersebut masih berupa mini kafe dengan menyediakan minuman dan makanan ringan sambil pihak desa menyiapkan pengembangan produk lokal di setiap dusun, sehingga harapan ke depan outlet tersebut bisa menjadi pusat oleh-oleh Desa Rambipuji yang dikembangkan oleh Bumdes.
Salah satu perajin tempe di Dusun Curah ancar, Triana Sueb mengatakan usaha membuat tempe merupakan usaha turun temurun dari keluarganya, sehingga industri tempe merupakan penopang perekonomian di keluarganya karena hasilnya juga menguntungkan.
Setiap harinya ia menyediakan bahan kedelai sebanyak 1 kuintal untuk diproses menjadi tempe dengan melibatkan dua pekerja bersamanya dan proses pembuatan makanan berbahan kedelai itu dilakukan selama empat hari karena kualitas pengolahan dapat berpengaruh pada rasa.
Sebagian besar warga di Dusun Curahancar menjadi perajin tempe dan memasarkan tempe tersebut ke pasar tradisional dan tempe yang dibuat warga Desa Rambipuji selalu laris manis karena rasanya yang enak, sehingga tidak jarang warga Jember berburu tempe Rambipuji saat singgah di desa setempat.
“Saya berharap industri tempe terus meningkat dan dikembangkan sebagai sentra desa tempe karena lauk pauk berbahan kedelai itu menjadi salah satu produk unggulan di Desa Rambipuji,” ujarnya.
Sementara Umam, pendamping Desa Rambipuji mengatakan desa tersebut merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan Rambipuji yang memiliki potensi wisata di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Madani yang kini dalam proses pengembangan yakni wisata Gumuk Gong dan Gumuk Dempet.
Sedangkan produksi tempe dikelola oleh masyarakat secara mandiri, namun pihak desa Rambipuji juga ikut mendukung dengan penguatan modal usaha mikronya dan ke depan produk tersebut melalui Bumdes akan dipatenkan dan dipasarkan ke wilayah lokal maupun luar daerah.
Desa Rambipuji sudah menyandang sebagai desa mandiri dan hal tersebut diketahui dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember dan sudah masuk kategori 100 desa terbaik menurut versi Kementerian desa pada tahun 2018, sehingga pemerintahan desa harus memacu dan menggali potensi lokal yang masih belum diketahui saat ini, sehingga identifikasi masalah dan inovasi terus dilakukan.
Inovasi yang perlu diperhatikan yakni harus melibatkan semua para pegiat desa dalam pengembangan Bumdes yang bergerak dalam simpan pinjam dan usaha sembako dan pengembangan wisata harus lebih diperhatikan, agar Desa Rambipuji sendiri memiliki ikon terbaru yang bisa dijadikan contoh bagi desa lainnya.
Warga desa pun berharap dengan banyaknya anggaran dana yang masuk ke desa dapat memperbaiki tata kelola desa yang lebih baik terus menguat, mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru, menggerakkan ekonomi masyarakat desa, menghasilkan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana desa yang baik, serta mengembangkan potensi desa menjadi produk unggulan perdesaan.
Rambipuji berinovasi menuju desa wisata
Selasa, 21 Mei 2019 14:54 WIB