Jember (Antaranews Jatim) - Pengamat hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono memaparkan beberapa kelemahan kedua calon presiden dan calon wakil presiden baik nomor urut 1 Joko Widodo-Amin Ma'ruf maupun nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana dengan tema "hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme" yang digelar di Jakarta, Kamis (17/1) malam.
"Debat pertama menunjukkan fenomena kurangnya Joko Widodo yang merupakan petahana dalam menyampaikan dan mengekplorasi kepada publik perihal kinerja nyata yang telah dilakukan selama 4 tahun terakhir, sedangkan Prabowo terlihat gagal fokus memahami topik perdebatan," kata Bayu saat dihubungi dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat.
Dosen yang juga Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember itu mendapat undangan resmi dari KPU RI untuk menghadiri acara debat perdana di Birawa Assembly Hall Hotel Bidakara Jakarta pada 17 Januari 2019.
Ia mengatakan seharusnya dalam debat pertama itu, Joko Widodo sebagai petahana lebih banyak bicara pencapaian konkret terkait topik debat yaitu hukum, HAM, korupsi dan terorisme yang telah dilakukannya selama 4 tahun memimpin dan sekaligus menunjukkan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan yang akan dituntaskan penyelesaiannya jika terpilih kembali.
"Prabowo-Sandi terlihat tidak memahami bahwa tiap debat memiliki topik sehingga pasangan calon nomor urut 2 itu seharusnya fokus pada topik yang diperdebatkan dan tidak membicarakan isu lain yang tidak ada kaitannya dengan topik seperti soal pangan, energi, air bersih, dan lainnya," tuturnya.
Bentuk ketidakfokusan pada topik debat tersebut adalah dengan adanya program sapu jagat yang disampaikan berulang-ulang yaitu apapun masalah terkait hukum dan korupsi maka penyelesainnya adalah melipatgandalan gaji aparat penegak hukum dan para pejabat.
"Padahal jika mau dilihat secara jernih maka tunjangan kinerja aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa dan kepolisian selama ini sudah sesuai kebutuhan, namun korupsi yang tetap dilakukan oleh oknum penegak hukum lebih pada motif keserakahan saja," katanya.
Pada penyampaian visi misi pasangan calon nomor urut 1, seharusnya memulainya dengan menunjukkan data-data kuantitatif bahwa perihal penyelesaian masalah hukum,HAM, korupsi dan terorisme selama 4 tahun terakhir ini lebih baik dibandingkan masa sebelumnya.
"Selain itu saat sesi menjawab pertanyaan yang dibuat oleh panelis, Jokowi seharusnya memulainya dengan menjelaskan apa yang telah diperbuat terkait isu yang ditanyakan dan bagaimana kemudian akan memperkuat apa yang telah dilakukan selama ini," katanya.
Sebagai contoh soal reformasi peraturan perundang-undangan yang bermasalah, lanjut dia, Jokowi-Ma'ruf Amin seharusnya tidak memulainya dengan menyatakan bahwa ke depan mereka akan membentuk badan baru yaitu pusat legislasi nasional melainkan dapat memulainya dari fakta bahwa selama 4 tahun terakhir sudah ada yang diperbuat oleh Joko Widodo seperti pemangkasan regulasi di tiap kementerian dan pembatalan ribuan peraturan daerah.
"Pasangan Prabowo-Sandiaga saat menyampaikan visi misi, seharusnya diawali data-data konkret terkait apa yang belum dilakukan oleh petahana terkait hukum, HAM, korupsi dan terorisme ternyata mengawalinya dengan hal sangat umum yang justru tidak menggambarkan kondisi riil saat ini," ujarnya.
Bayu mengatakan pasangan calon nomor urut 2 terlihat tidak fokus pada topik dan cenderung melebar kepada topik lainnya seperti ekonomi, energi, kesejahteraan sosial yang terus diulang-ulang di sesi-sesi berikutnya, sehingga masyarakat tidak dapat gambaran utuh program apa yang akan dilakukan oleh Prabowo-Sandiaga sesuai tema debat tersebut.
Ia mengatakan Prabowo-Sandiaga terlihat tidak memahami kewenangan Presiden dalam konteks ketatanegaraan yang juga memiliki batasan seperti tidak boleh intervensi pada proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan Presiden bukanlah pemimpin lembaga yudikatif yang oleh konstitusi dijamin sebagai kekuasaan yang merdeka.
"Misalnya memberikan contoh kasus kepala desa di Mojokerto yang mendukung pasangan calon nomor urut 2 yang divonis bersalah oleh pengadilan sebagai bentuk praktik penegakan hukum yang berat sebelah oleh Presiden adalah suatu kesalahan fatal mengingat pengadilan tidaklah berkedudukan di bawah Presiden," ujarnya.
Saat sesi tanya jawab antar pasangan calon, lanjut dia, juga minim dengan tanya jawab soal strategi konkret dan janji target dari masing-masing pasangan untuk mengatasi berbagai permasalahan seputar hukum, HAM, korupsi dan terorisme.
"Sebagai contoh masing-masing pasangan calon tidak ada yang berani menanyakan jika terpilih mereka akan berani meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sampai angka berapa, dimana semakin tinggi angka IPK berarti agenda pemberantasan korupsi di suatu negara dianggap berhasil," katanya.
Jokowi-Amin Ma'ruf yang dianggap tidak serius di bidang penegakan HAM oleh Prabowo-Sandiaga, bahkan juga tidak menanyakan ke pasangan calon nomor urut 2, jika terpilih maka apakah kasus HAM masa lalu akan mereka tuntaskan dan berapa lama waktu yang mereka butuhkan.
"Debat yang tanpa disertai program konkret dan target waktu untuk mencapainya dari para masing-masing capres, maka publik melihat debat putaran pertama ini kurang greget dan masih seperti belanja masalah dan bukan sebagai ajang kontrak kinerja antara pasangan calon dengan pemilih," ujarnya.
Untuk itu dalam rangka perbaikan kualitas debat berikutnya, lanjut dia, maka pertanyaan yang dibuat oleh panelis debat yang ditunjuk KPU seharusnya tidak hanya menanyakan strategi penyelesaian suatu persoalan melainkan juga menyertakan pertanyaan perihal janji waktu pemenuhan atas setiap program pasangan calon.
"Sehingga setiap selesai menonton debat, maka pemilih benar-benar dapat melihat rasionalitas program dari masing-masing pasangan calon dan menjadi tertarik untuk menggunakan hak pilihnya pada tanggal 17 April 2019," katanya, menambahkan.(*)
Pengamat Hukum: Kedua Capres Tidak Berani Targetkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Jumat, 18 Januari 2019 9:33 WIB
Masing-masing pasangan calon tidak ada yang berani menanyakan jika terpilih mereka akan berani meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sampai angka berapa, semakin tinggi angka IPK berarti agenda pemberantasan korupsi di suatu negara dianggap berhasil.