Tulungagung (Antaranews Jatim) - Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menggelar kegiatan pengasapan (fogging) guna mengantisipasi merebaknya wabah demam berdarah di daerah tersebut.
Pengasapan pertama dilakukan di Desa Pucung Lor, Kecamatan Ngantru, Tulungagung, Senin.
Di daerah ini, menurut penjelasan ketua tim fogging Dinkes Tulungagung Supriyono, ada enam warga terjangkit demam berdarah dan saat ini masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit setempat.
"Kami lakukan fogging di Desa Pucunglor, di sini ada enam penderita DBD," katanya.
Supriyono menuturkan, awal Januari ini Dinkes Tulungagung telah menerima laporan penderita DBD sebanyak 20 orang. Sedangkan di Desa Pucunglor, Kecamatan Ngantru, ada enam penderita DBD yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit setempat.
Supriyono menambahkan, dalam melakukan fogging, instansinya menggunakan insektisida yang dicampur dengan solar untuk menimbulkan asap.
"Kalau pakai insektisida saja tidak bisa keluar asap, maka kami campur dengan solar. Dengan takaran 350 cc dicampur 20 liter solar," katanya.
Sementara itu, berdasarkan data yang dimiliki Dinkes Tulungagung, selama periode Januari-Desember 2018 jumlah penderita demam berdarah mencapai 545 jiwa, dengan tujuh orang di antaranya meninggal dunia. Sementara pada 2017 hanya 128 penderita DBD, yang meninggal empat orang.
Penderita demam berdarah yang meninggal dunia 70 persen di antaranya adalah anak-anak, sedangkan 30 persen sisanya telah berusia dewasa.
"Meskipun mengalami kenaikan, ini masih dalam kategori wajar dan belum dinyatakan kejadian luar biasa (KLB)," kata Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Tulungagung Didik Eka.
Didik memaparkan, selama 12 bulan terakhir untuk angka tertinggi penderita DB terjadi pada November, yakni sebanyak 94 kasus, sedangkan bulan Oktober 80 kasus.
Peningkatan penderita DB tersebut dipengaruhi faktor cuaca serta tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan.
"Pada 2017 angkanya memang rendah, karena curah hujan yang terjadi pada waktu itu juga sangat rendah," ujarnya.
Didik menuturkan, kasus kematian penderita DBD tersebut juga dipengaruhi kesigapan pihak keluarga untuk memantau dan membawa penderita ke rumah sakit maupun pusat layanan kesehatan lainnya. Rata-rata pihak keluarga penderita belum begitu memahami grafik serangan DBD.
Hal itu diketahui ketika melihat kondisi penderita pada saat tiga atau empat hari setelah di rawat mengalami penurunan panas kemudian memilih untuk pulang.
"Terkadang setelah itu terjadi peningkatan panas lagi pada penderita, justru inilah fase yang bahaya," tuturnya. (*)