Surabaya (Antaranews Jatim) - Dewan Pendidikan Kota Surabaya mendukung adanya audit terkait dengan wacana kenaikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) SMA/SMK di Kota Pahlawan.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya, Martadi, di Surabaya, Kamis, mengatakan penyelenggaraan pendidikan seharusnya tidak terlalu membebani masyarakat, khususnya dengan adanya wacana kenaikan SPP.
"Tentu ini akan berdampak pada menurunnya potensi pendidikan. Kalau biaya dituntut meningkat, sementara daya beli masyarakat tetap, kan tentu menimbulkan potensi berhenti bersekolah," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya mendukung adanya audit yang dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai unsur, mulai dari komite sekolah, universitas, dan stakeholder lainnya terkait.
"Hal ini perlu dilakukan agar jangan sampai kenaikan SPP itu didasari pada perasaan kurangnya biaya operasional saja," katanya.
Apalagi, lanjut dia, selama ini sekolah sudah mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan dari APBD Jawa Timur.
"Seharusnya itu dirincikan dulu, baru bicara masalah kekurangannya di bidang apa," ujarnya.
Sementara itu, anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur Biyanto mengatakan surat edaran Gubernur Jawa Timur sejatinya sudah melalui proses kajian.
Namun, dia tidak menampik bahwa faktanya, di lapangan banyak sekolah yang memutuskan menempuh rencana kenaikan SPP untuk menutup biaya operasional sekolah.
Biyanto menyatakan, opsi tersebut harusnya ditempuh dengan mekanisme audit dan diskusi bersama dengan komite sekolah. "Tujuannya mencari tahu kira-kira kurangnya itu dimana," katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya mengatakan organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemkot Surabaya seperti dinas pendidikan, dinas pengendalian penduduk, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas sosial, hingga bagian kesejahteraan rakyat, yang mendapatkan keluhan dari masyarakat terkait tingginya biaya pendidikan.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menjelaskan banyaknya siswa SMA/SMK yang harus menghabiskan waktu berjualan nasi goreng, hingga ojek daring di sela-sela aktivitas belajar-mengajar. Para siswa tersebut lantas di data hingga ke rumah masing-masing. Hasilnya, para siswa itu berpotensi putus sekolah.
Menurut Risma hal tersebut bertentangan dengan semangat kemerdekaan, dimana seharusnya seluruh lapisan masyarakat berhak mengenyam pendidikan minimal wajib belajar dua belas tahun.
"Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu," katanya. (*)