Malang (Antaranews Jatim) - Pengamat ekonomi dan politik Faisal Basri menyatakan skema "gross split" yang diterapkan dalam investasi bidang minyak dan gas (migas) di Indonesia berdampak pada penurunan investasi.
"Skema itu menyebabkan investasi di bidang migas di Tanah Air turun dalam setahun terakhir ini. Seharusnya investasi itu kan naik," kata Faisal Basri usai menjadi pembicara pada Konferensi Regional Akuntansi (KRA) ke-5 di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Kamis.
Pada skema gross split, katanya, biaya operasi menjadi beban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan KKKS diperhitungkan di muka. Gross split seolah-olah bagian dari kontraktornya naik.
Hanya saja, lanjut Faisal, sebesar-besarnya yang diberikan kepada kontraktor di Indonesia, masih lebih besar yang diberikan oleh Meksiko, sebab Meksiko memberikan jatah untuk kontraktor hingga 95 persen dan lima persen untuk pemerintah. Sedangkan di Indonesia, kontraktor menerima jatah maksimal 70 persen.
"Bagi hasil negara lain juga jauh lebih atraktif. Meski sekarang kita jauh lebih atraktif dari bagi hasil yang dulu dengan kontraktor, tapi masih jauh lebih atraktif yang ditawarkan negara lain," ucapnya.
Skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas di Indonesia semula menggunakan skema cost recovery dan kini menjadi skema gross split.
Menyinggung upaya pemerintah untuk meningkatkan eksplorasi migas nasional secara mandiri, menurut Faisal, mustahil dilakukan, sebab selain biayanya mahal, modal yang dikeluarkan harus berkelanjutan. "Hampir mustahil kalau hanya dengan dana sendiri," katanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin eksplorasi sektor migas meningkat serta meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta SKK Migas untuk menyederhanakan prosedur perizinan.
Faisal menilai keinginan orang nomor satu di Indonesia tersebut mustahil dilakukan. Apalagi, keuntungan Pertamina terkadang sebagian besar diminta oleh pemerintah. "Jadi tidak pernah utuh uangnya, apalagi kalau akan digunakan untuk melakukan eksplorasi yang masif," kata Faisal.
Menurut dia, keuangan Pertamina terus terganggu. Keuangan mereka selalu terkuras dengan kerugian di tempat lain. "Presiden pun harus sadar bila Pertamina itu semakin tidak lincah karena baru bikin rencana saja sudah diganti presdirnya. Di era Jokowi saja sudah dua kali diganti," ujarnya.
Seharusnya, kata Faisal, pemerintah membantu menstabilkan kepemimpinan Pertamina, sebab kepemimpinan Pertamina yang kuat akan meningkatkan inovasi yang lebih baik. Dirut Pertamina setiap hari terbelenggu, jangan-jangan besok dipecat (diganti). Dirut diganggu pemerintahnya sendiri. Belum lagi diganggu oleh pihak-pihak lain," ucapnya.(*)
Video Oleh Endang Sukarelawati