Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar ekonomi Universitas Jember Adhitya Wardhono, PhD mengatakan perlu penguatan fiskal agar kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak menjadi buah simalakama di Indonesia.
"Ikhtiar yang bisa dilakukan pemerintah sehingga tarif PPN tidak menjadi simalakama adalah penguatan fiskal dan transparansi melalui penertiban wajib pajak dengan meminimalkan potensi penghindaran pajak ataupun potensi korupsi melalui prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran wajib pajak," kata Adhitya Wardhono di Jember, Jawa Timur, Kamis.
Dalam sistem self-assessment, lanjut dia, wajib pajak diminta dan diberi hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak.
"Artinya pemerintah harus melakukan edukasi dan peningkatan literasi perpajakan bagi masyarakat luas. Juga melakukan evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat," tuturnya.
Ke depan pemerintah perlu membuat kebijakan ekonomi yang memberi kemudahan fiskal bagi rakyat, kemudian mengedepankan partisipasi dan dialog dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pelaku usaha, juga bisa mereduksi gejolak sosial yang timbul.
Yang bisa dilakukan pemerintah selain peningkatan PPN adalah melakukan reformasi pajak lain, dengan mengurangi pajak berganda, memberikan insentif fiskal untuk sektor-sektor tertentu, dan memberlakukan pajak progresif pada sektor yang kurang terjangkau.
"Optimalisasi aset-aset milik negara melalui investasi yang menghasilkan pendapatan, serta optimalisasi diversifikasi ekonomi dengan meningkatkan kontribusi sektor-sektor strategis seperti pariwisata, ekonomi digital, dan sektor hilir dari sumber daya alam," ucap pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unej itu.
Secara kritis, katanya, kebijakan kenaikan PPN 12 persen menimbulkan pertanyaan mengenai kesesuaian dengan prinsip keadilan dan efisiensi dalam teori ekonomi perpajakan.
Ia mengatakan pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi pada barang-barang mewah dapat dianggap progresif karena membebankan pajak yang lebih besar kepada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Dalam konteks ekonomi kelembagaan, lanjutnya, kelembagaan fiskal yang kuat, transparan, dan adaptif diperlukan agar pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan dengan kondisi ekonomi yang dinamis tanpa mengorbankan kepercayaan publik atau stabilitas ekonomi.
Keberhasilan implementasi kebijakan PPN 12 persen sangat bergantung pada legitimasi kebijakan yang mencakup transparansi penggunaan dana pajak dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
"Akhirnya pembatalan kenaikan PPN itu harusnya menjadi pendorong ekonomi rakyat terlebih pada waktu yang bersamaan pemerintah menyiapkan berbagai skema stimulus ekonomi untuk rakyat berpendapatan rendah," ujarnya.