Sampang (Antaranews Jatim) - Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Tullab Sampang, Jawa Timur, Dr Moh Wardi, menyatakan anak-anak yang menjadi korban dalam kasus bentrok massal antara warga Desa Ponteh dengan Laskar Pembela Islam (LPI) Pamekasan membutuhkan "trauma healing".
"Instansi terkait, seperti Disdik atau Kemenag Pamekasan saya kira perlu untuk turun tangan, apabila memang anak-anak di sekitar lokasi bentrok massal di Desa Ponteh, Kecamatan Galis, itu mengalami trauma akibat kasus bentrok yang terjadi beberapa hari lalu tersebut," ujar Moh Wardi kepada Antara per telepon, Sabtu pagi.
"Trauma Healing" merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan gangguan psikologis yang sedang dialami anak-anak akibat 'shock' setelah menyaksikan kejadian menakutkan.
Dosen Ilmu Pendidikan Islam yang juga Asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal (BANPAUN dan PNF) ini lebih lanjut menjelaskan, trauma merupakan emosi ekstrim atau gangguan stres yang timbul karena adanya kejadian yang luar biasa dan membuat anak mengalami tekanan.
Reaksi jangka pendek yang biasa terjadi pada seseorang yang mengalami trauma adalah 'shock' dan penolakan.
Sedangkan reaksi jangka panjang pada penderita trauma meliputi emosi yang tak terduga, semisal selalu teringat kejadian yang terjadi pada masa lalu.
"Ada dua jenis trama, yakni trauma fisik dan trauma psikologis," kata Wardi, menerangkan.
Trauma fisik merupakan trauma yang mengakibatkan luka fisik, misalnya kecelakaan, pukulan, dan lain-lain. Sedangkan trauma psikologis disebabkan kejadian yang melukai batin dan melibatkan perasaan atau emosi. Misalnya sering dibanding-bandingkan, sering dicaci maki dan dilabeli, perceraian, kekerasan seksual, dan sejenisnya.
Meskipun keduanya memiliki potensi dampak yang sama, tetapi trauma psikologis membekas lebih dalam dan berdampak lebih buruk.
Penyebabnya bisa bermacam-macam mulai dari kekerasan, kehilangan atau perpisahan, ketidakadilan, eksploitasi, dan sebagainya.
Namun, trauma yang kerap berdampak negatif bagi masa depan seseorang adalah trauma yang disebabkan oleh kejadian yang sangat memukul dalam lingkungan keluarga seperti perceraian, kematian, atau kekerasan dalam rumah tangga, apalagi jika berlangsung terus menerus dalam waktu lama.
Bahkan, sambung dia, trauma dapat berdampak buruk pada perkembangan otak anak, yang akan meningkatkan kewaspadaan yang berlebihan, agresif, hiperaktivitas, impulsivitas, dan sulit berkonsentrasi.
"Semua itu bisa berdampak buruk terhadap pencapaian keterampilan, prestasi akademik, integrasi sosial, pemecahan masalah dan kesehatan mental umumnya dan akan menjadi penghalang langkah seorang anak menuju masa depan yang baik," katanya.
Menurut Wardi, secara umum gejala trauma pada anak dapat dikenali dari perubahan tingkah laku, misalnya tiba-tiba menjadi pendiam, murung, tidak berdaya dan mudah takut.
Oleh karenanya, terkait kasus bentrok massal di Desa Ponteh, Kecamatan Galis, Pamekasan antara LPI dengan warga desa setempat yang terjadi pada 19 Januari 2018 itu, Wardi menyarankan agar instansi dinas terkait sebaiknya segera turun tangan, melakukan "trauma healing" pada anak-anak yang menjadi korban bentrok itu.
"Tindakan cepat dan antisipatif, saya kira lebih baik," ujarnya, menjelaskan.
Doktor Pendidikan Islam lulusan Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya ini lebih lanjut menjelaskan, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan damai, akan memiliki kemampuan akademik yang lebih baik, dibanding dengan anak-anak yang pernah mengalami trauma.
"Disinilah pentingnya memulihkan rasa trauma pada anak," ucap Wardi.
Kasus bentrok massal antara Laskar Pembela Islam (LPI) dengan warda Desa Ponteh, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur itu terjadi, saat ormas Islam itu melakukan penyisiran salah satu rumah warga di desa itu yang diduga sebagai tempat prostitusi ilegal.
Namun, saat penyisiran, pasukan ormas Islam itu, sempat salah sasaran, sehingga mendatangi rumah warga yang sedang menggelar hajatan ulang tahun dan di rumah itu sedang banyak anak-anak dan ibu-ibu.
Pasukan LPI langsung mendatangi rumah itu, dan berupaya menyeret ibu-ibu yang sedang berkumpul mengantarkan anak-anaknya yang sedang menghadiri hajatan ulang tahun tersebut.
Beberapa ibu-ibu sempat pingsan, dan anak-anak yang ada di rumah itu berteriak histeris.
Warga desa setempat akhirnya melakukan perlawanan, sehingga bentrok massal antara pasukan LPI dengan warga tidak terhindari.
Menurut data Mapolres Pamekasan, sedikitnya 10 orang menjadi korban dalam kasus bentrok massal antara warga dengan pasukan LPI itu, bahkan mobil yang digunakan kelompok ormas berseragam serba putih itu, sempat dirusak massa, sebagai bentuk reaksi atas tindakan LPI.
Dua orang dari pihak penyerang, telah ditangkap aparat Polres Pamekasan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu, namun dilepas kembali atas permintaan Panglima LPI Madura Abd Aziz Muhammad Syahid dan pengacaranya. (*)