Surabaya (Antara Jatim) - Bahan bakar minyak dan gas, merupakan salah satu komoditas strategis selain pangan. Oleh karena itu, wajar jika pergerakan harga komoditas tersebut menjadi sesuatu yang sangat sensitif, dan bahkan bisa mengusik ketenangan publik.
Sesuai namanya, migas terdiri dari dua kata yakni minyak dan gas. Dua komoditas yang berbeda, tapi keduanya saat ini masih merupakan bahan bakar vital bagi dunia industri maupun masyarakat pada umumnya.
Kelangkaan atau tersendatnya pasokan komoditas tersebut, akan berdampak besar terhadap kegiatan industri maupun aktivitas masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan strategi distribusi yang baik agar tidak sampai menimbulkan gejolak sosial.
PT Pertamina (Persero) sebagai salah satu lembaga yang diberi otoritas mengelola komoditas tersebut, tampaknya telah menerapkan strategi distribusi secara optimal. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah puluhan tahun menangani komoditas strategis ini.
Sebagai otoritas yang diberi kewenangan menangani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas kepada masyarakat, Pertamina harus bisa mengelola dinamika kebutuhan masyarakat di dalam negeri maupun pasar global.
Sebab, migas adalah komoditas yang tidak hanya banyak dibutuhkan masyarakat Indonesia, tapi juga merupakan produk yang dibutuhkan masyarakat dunia. Harga minyak belakangan sangat fluktutaif seiring dengan kondisi geopolitik yang menghangat di sejumlah belahan dunia.
Pengelolan komoditas ini menjadi tidak mudah karena produk berbahan baku fosil tersebut merupakan produk yang tidak bisa diperbaharui (non-renewable). Konsumsi terus berjalan, sedangkan potensi migas relatif tetap. Dengan demikian, migas sangat mungkin menjadi komoditas terbatas di kemudian hari jika tidak ada upaya mencari sumber migas baru atau penggantinya.
Kecenderungan tersebut sudah dirasakan Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen migas, tapi sejak 2004 sudah menjadi "net oil importer". Produksi minyak Indonesia yang pada 1970-an mampu menembus satu juta barel per hari (bph), saat ini diperkirakan tinggal 800 ribu bph. Sedangkan tingkat konsumsi konon telah mencapai 1,6 juta bph.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dalam keterangan pers mengenai capaian sektor ESDM pada September lalu mengemukakan "lifting" minyak tahun ini tidak akan mencapai 815.000 bph. Lifting minyak sejak awal tahun hingga Agustus 2017 sebesar 792.000 bph atau di bawah tahun lalu 829 bph.
Sementara dari target "lifting" gas yang ditetapkan 1.150 ribu barel setara minyak per hari atau barrel oil equivalent per day (boepd), sejak awal tahun hingga Agustus 2017 terealisasi 1.134 ribu boepd dan diprediksikan akan mencapai 1.200 boepd hingga akhir tahun.
Terlepas dari capaian produksi tersebut, kesenjangan antara tingkat produksi dengan konsumsi yang terjadi perlu disikapi secara cermat dan hati-hati agar tidak sampai menimbulkan gejolak. Apalagi, Pertamina kini mendapat tugas baru memberikan pemenuhan bahan bakar minyak satu harga untuk masyarakat, khususnya untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Melihat fenonema seperti ini maka harus dipahamkan juga kepada masyarakat bahwa migas merupakan komoditas yang tidak terbarukan sehingga harus efisien dan bijak dalam mengkonsumsinya.
Selain itu, pemahaman yang kurang pas tentang Indonesia negeri kaya minyak juga harus terdistribusi dengan baik ke masyarakat agar tidak salah mempersepsikan tentang potensi migas yang ada.
Berdasarkan data, Indonesia pada 2012 mampu memproduksi 44,6 juta ton minyak mentah atau berada di urutan 24 dari 53 negara penghasil minyak dunia. Produsen minyak terbesar adalah Saudi Arabia yang mencapai 547,0 juta ton, Rusia 526,2 juta ton dan Amerika Serikat 394,9 juta ton.
Bukan Untung Rugi
Distribusi atau pemasaran bahan bakar minyak (BBM) satu harga untuk seluruh wilayah Indonesia, kini menjadi tugas yang harus diemban Pertamina. Disparitas harga yang selama ini dikenal untuk BBM, menjadi tidak ada lagi.
Presiden Joko Widodo telah mencanangkan program satu harga BBM bersamaan dengan peresmian Bandara Nop Goliat di Yahukimo, Papua, pada Oktober 2016. "Ini bukan masalah untung dan rugi. Ini masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Joko Widowo saat itu.
Penegasan itu disampaikan kembali Presiden Joko Widodo saat Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2017 atau menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-72 bahwa ia menginginkan masyarakat Papua di pegunungan dan perbatasan bisa menikmati harga BBM dan harga bahan pokok sama dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu tidak mudah karena kegiatan ini bersinggungan dengan pemenuhan infrastruktur, mata rantai distribusi dan logistik.
Bahkan, jika merujuk kepada ilmu ekonomi tentang disparitas harga produk, maka perbedaan harga sangat mungkin terjadi karena biaya distribusi antar-daerah satu dengan lainnya. Jarak distribusi akan berpengaruh kepada nilai barang. Semakin jauh jarak antara produsen atau tempat produksi dengan konsumen maka harga barang akan lebih mahal.
Akan tetapi, kebijakan BBM satu harga yang dicanangkan presiden tersebut merupakan bentuk keberpihakan. Pertamina sebagai operator atau pemegang otoritas pengelolaan BBM di Tanah Air dituntut bisa mencari solusinya, sekalipun harus melakukan subsidi silang dengan unit bisnis lain yang dikelolanya.
Pertamina harus mengerahkan sumber daya yang dimiliki untuk mewujudkan kebijakan pemerintah tentang BBM satu harga itu. Untuk mewujudkan program BBM satu harga di Papua saja misalnya, konon Pertamina harus mengalokasikan dana Rp800 miliar per tahun.
Mata rantai distribusi BBM di Indonesia juga bukan sesuatu yang mudah, tapi kompleks. Distribusi harus dilakukan melalui darat, laut maupun udara. Cara itu harus dilakukan simultan agar bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang topografinya berbeda-beda.
Di daerah dengan topografi yang berbukit-bukit atau bahkan pegunungan, tentu tidak mudah dijangkau dengan kapal laut, sehingga dibutuhkan sarana angkutan darat atau udara. Sedangkan di daerah yang berada di pesisir, dibutuhkan dermaga yang dapat dimanfaatkan merapat kapal pengangkut BBM atau bahkan disambung dengan kapal kecil.
Kendati demikian, Pertamina tampaknya sangat komitmen untuk bisa mewujudkan terdistribusinya BBM ke seluruh wilayah Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Pertamina bertekad dapat mendistribusikan kebutuhan energi ke pelosok negeri melalui perencanaan matang, serta peningkatan efisiensi dan efektivitas fasilitas jaringan distribusi darat, laut maupun udara.
Pertamina memiliki infrastruktur untuk memperkuat distribusi di tingkat hilir di antaranya 273 kapal tanker, delapan unit kilang, 111 unit terminal BBM, 6.865 unit retail outlet dan 64 unit Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU).
Sementara itu, terkait dengan pelaksanaan program BBM satu harga, Pertamin kini telah merealisasikan pengoperasian lembaga penyalur di 25 titik di seluruh Indonesia di daerah 3T, yakni terdepan, terluar dan tertinggal.
Sebanyak 25 titik tersebut adalah delapan titik yang merupakan bagian program Papua Satu Harga, satu titik di Krayan, Kalimantan Utara, empat titik di Halmahera Selatan, Maluku Utara, Pulau Kabaruan dan Pulau Karakelang di Sulawesi Utara, Seram bagian Barat serta 12 titik lainnya yang menjadi target pelaksanaan program Indonesia Satu Harga tahun ini.
Dengan terjangakaunya program tersebut maka masyarakat setempat dapat membeli premium Rp6.450 per liter dan Rp5.150 per liter solar dari sebelumnya beli di pengecer jauh di atas harga tersebut, berkisar Rp15.000 hingga Rp25.000 per liter.
Dalam peta jalan (roadmap) Kementerian ESDM menyebutkan, terkait pelaksanaan program BBM satu harga pemerintah menargetkan pengoperasian 150 lembaga penyalur hingga 2019. Rinciannya, 54 titik pada 2017, 50 titik pada 2018, dan 46 titik pada tahun 2019.
Sedangkan perkiraan BBM yang disalurkan di daerah-daerah target program tersebut mencapai 215 ribu kilo liter (KL) pada 2017 dan menjadi 580 ribu KL pada 2019.
Namun, sarana dan prasarana yang digelar tersebut tidak akan memadai jika tidak ditunjang fasilitas lain. Pertamina tentu sangat berharap dukungan sistem logistik yang komprehensif dan kompetitif, seperti tol laut yang telah dicanangkan pemerintah sebelumnya, serta tol udara yang di telah dicanangkan Kementerian Perhubungan, selain tol darat yang kini terus dibangun di berbagai daerah.
Program BBM satu harga pada hakekatnya adalah kerja bersama, kerja lintas sektoral, bukan hanya Pertamina. Oleh karena itu, sudah selayaknya untuk menyukseskan program tersebut dibutuhkan sinergi antar-sektor dan antar-institusi. (*)