Surabaya (Antara Jatim) - Koreografer Sekar Alit Santya Putri asal Kota Surabaya mementaskan karya tari eksperimental "Ex-Dolly", sebagai ungkapan suara hatinya yang sejak kecil tinggal di lingkungan sekitar bekas lokalisasi prostitusi Jarak dan Dolly Surabaya.
"Sejak kecil saya tinggal di Kampung Banyuurip Surabaya, sebuah kampung yang dikelilingi oleh aktifitas prostitusi, yaitu di sebelah selatan lokalisasi Dolly dan Jarak, serta di sebeluh timur kerap digunakan sebagai tempat mangkal Penjaja Seks Komersial jalanan di Jalan Diponegoro," katanya, saat ditemui usai pementasan di Surabaya, Minggu malam.
Praktis koreografer berusia 27 tahun ini sepanjang hidupnya telah mengobservasi aktivitas lingkungan di sekitar tempat tinggalnya hingga kawasan prostitusi tersebut ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya di tahun 2014.
Karyanya "Ex-Dolly" yang semalam dipentaskan di Pendopo Kampus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya mendapat dukungan "Hibah Cipta Perempuan" dari Yayasan Kelola.
"Kami mengamati Sekar sebelumnya pernah membuat karya tari tentang prostitusi Dolly dalam tugas akhirnya saat menyelesaikan kuliah S2 Program Studi Penciptaan Seni Tari di Institut Seni Surakarta di tahun 2014," ujar seniman pertunjukan Melati Suryodarmo asal Solo, yang dalam pementasan ini bertindak sebagai pendamping dari Yayasan Kelola.
Karya tari "Ex-Dolly", lanjut dia, merupakan tindak lanjut Sekar dalam mengamati lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yang sudah sekitar tiga tahun lalu telah ditutup oleh Wali Kota Tri Rismaharini.
Dalam karya pertunjukan tersebut, Sekar turut tampil menari, didukung oleh tiga orang penari lainnya, yaitu Stefani Marsilea Glorie, Putri Senjani Apriliani, dan Juli Sandra.
Sekar mengatakan, tiga orang penari yang mendampinginya dalam pertunjukan ini memiliki dasar tari yang berbeda-beda.
Dia mencontohkan Stefani Marsilea memiliki dasar tari balet dan "street dance", Juli Sandra memiliki dasar tari hiphop, sedangkan Puri Senjani Apriliani memiliki dasar tari "Cheerleader".
"Kalau saya sendiri menguasai dasar tari tradisional," katanya.
Perbedaan dasar tari dari para penari tersebut, menurut dia, menjadikan pertunjukan "Ex-Dolly" menjadi beragam yang disatukan dalam konteks tari kontemporer.
"Pertunjukan ini bukan dalam konteks mengomentari bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi kawasan prostitusi eks- Dolly, melainkan lebih mencermati lebih dalam persoalan-persoalan yang terjadi pasca lokalisasi ditutup," ujarnya. (*)
Video oleh: Hanif Nasrullah