Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jatim Bambang Sukadi meminta layanan depo peti kemas atau tempat penimbunan sementara (TPS) di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya proporsional dalam hal tarif maupun kualitas layanan.
"Jangan seperti sekarang, depo satu dengan lainnya tarif bisa berbeda jauh, sementara layanan relatif sama," katanya di Surabaya, Kamis, menanggapi keluhan anggotanya terhadap layanan depo peti kemas di Pelabuhan Tanjung Perak.
Depo peti kemas adalah kegiatan usaha yang meliputi penyimpanan, penumpukan, pembersihan dan perbaikan peti kemas. Depo peti kemas di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak jumlahnya puluhan, sedangkan yang memperoleh izin pengawasan kepabeanan sebagai TPS hanya tiga perusahaan.
Sesuai fungsinya, TPS yang berada di lini dua tersebut untuk menerima pengeluaran peti kemas dari lini satu di lingkungan pelabuhan. Dengan demikian, fungsi dan peran TPS bisa menekan lamanya peti kemas menumpuk di lingkungan pelabuhan atau dwelling time.
Sedangkan tarif yang dikenakan di TPS di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak saat ini cukup variatif, ada yang mengenakan "flat" berkisar Rp70 ribu hingga Rp160 ribu per hari, namun ditengarai ada pula yang memberlakukan tarif lebih dari Rp200 per hari.
Menurut Bambang, seluruh pemangku kepentingan di lingkungan Pelabuhan Tanjung Perak perlu duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut agar tidak berlarut-larut.
"Mari seluruh asosiasi (di lingkungan Pelabuhan Tanjung Perak) dan pihak terkait bertemu untuk membahas masalah itu agar diperoleh penyelesaian terbaik," ucapnya.
Ia mengakui, sejumlah anggota GINSI mengeluhkan tentang praktik layanan di depo peti kemas, khususnya terkait tarif, yang sangat beragam karena hal tersebut bisa menciptakan kondisi tidak kondusif.
Anggota GINSI Jatim kini sedang mengumpulkan data-data terkait praktik layanan depo peti kemas atau TPS tersebut guna bahan pembahasan bersama pihak-pihak terkait, demikian Bambang Sukadi. (*)