Malang, (Antara Jatim) - Pemerintah Kota Malang masih tetap mempertahankan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan tidak boleh dialih fungsikan untuk kepentingan lain selain pertanian.
Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Barenlitbang) Kota Malang, Jawa Timur Wasto di Malang, Selasa mengatakan meski dalam Perda Nomor 5 Tahun 2012 Pemprov Jawa Timur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jatim 2011-2031, Kota Malang tidak termasuk wilayah yang memiliki LP2B, pihaknya tetap mempertahankan.
"Kota Malang sendiri juga memiliki payung hukum untuk mempertahankan LP2B tersebut, yakni Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang 2010-2030. Dalam regulasi itu dituangkan bahwa ada wilayah tertentu yang tidak boleh diubah peruntukannya atau dialih fungsikan," urainya.
Sementara dalam Perda RTRW Jatim 2011-2031 disebutkan bahwa di Jawa Timur ada dua wilayah (kota) yang tidak diwajibkan memiliki LP2B, yakni Kota Surabaya dan Kota Malang. Namun demikian, Pemkot Malang memiliki kebijakan sendiri, yakni tetap menyediakan LP2B.
Oleh karena itu, lanjutnya, jika ada lembaga atau pemerhati lingkungan maupun perorangan yang mengatakan Pemkot Malang melakukan pembiaran terhadap alih fungsi lahan pertanian terbuka, itu tidak benar. "Kami sudah melakukan langkah antisipatif untuk meminimalkan alih fungsi lahan pertanian terbuka maupun lahan-lahan yang menjadi lahan terbuka," urainya.
Bahkan, katanya, Perda RTRW yang ada justru menjadikan pembangunan lebih tertata dan terarah, sehingga titik-titik yang harus dilindungi sebagai lahan terbuka hijau (RTH) maupun lahan pertanian (LP2B) bisa terjaga keberadaannya. "Dengan adanya Perda RTRW ini, kami berupaya melindungi lahan pertanian yang masih tersisa," katanya.
Sebelumnya, hasil penelitian yang dilakukan sejumlah dosen yang tergabung dalam Research Group Geoinformaticsa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (UB) Malang disebutkan selama kurun 20 tahun terakhir, luas lahan alami di Kota Malang menyusut drastis akibat masifnya pembangunan, sehingga mengubah perwajahan bhumi Arema.
Hingga 2017 ini, luas lahan berupa lahan pertanian, tubuh air, dan vegetasi di Kota Malang hanya tersisa sekitar 30 persen. Penelitian yang dilakukansejumlah dosen tersebut, memanfaatkan data satelit observasi bumi Landsat 5 TM (milik Amerika Serikat), Sentinel-2 (milik Uni Eropa), dan data DEM (Digital Elevation Model) dari satelit ALOS (Advance Land Observation Satellite) milik Jepang untuk tahun 1997 dan tahun 2017.
Salah seorang peneliti, Fatwa Ramdani mengatakan dasar penelitian ini menggunakan ilmu Geoinformatika yang merupakan irisan antara bidang ilmu Geografi dan Informatika. Melalui basis keilmuan ini, perubahan karakteristik permukaan fisik bumi dalam kurun waktu tertentu dapat termonitor.
"Wilayah yang terbangun oleh struktur buatan manusia di Kota Malang memiliki luas 2.799,2 hektare pada tahun 1997, atau 37 persen dari total luas kota 7511,1 hektare. Pada tahun itu, terjadi pembukaan lahan skala besar untuk pembangunan wilayah permukiman baru seluas 1.285,65 hektare yang secara otomatis memangkas lahan pertanian.
Luasan struktur buatan manusia kini menjadi 4.751,5 hektare atau sekitar 64 persen dari luas keseluruhan atau meningkat dua kali lipat. Akibatnya, luas lahan alami menurun menjadi 30 persen atau sekitar 2.253,3 hektare, bahkan hingga saat ini aktivitas perubahan alih fungsi lahan masih terjadi.
"Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius, terutama proses perubahan fungsi pada semua sub-daerah aliran sungai (DAS). Selain itu, wilayah sempadan sungai dan dataran banjir (flood plain) pada DAS juga mengalami alih fungsi serius. Jika ini terus dibiarkan, sama saja mengundang bencana," paparnya.(*)
Pemkot Malang tetap Pertahankan LP2B
Selasa, 14 Maret 2017 8:15 WIB