Tulungagung (Antara Jatim) - Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur memilih bersikap hati-hati dalam melakukan akuisisi atau pembelian rumah/pendopo Kanjengan sebagai aset cagar budaya dengan pertimbangan harga dan kekuatan anggaran daerah setempat.
"Tentunya pemerintah daerah sepanjang harganya terukur, kami akan siapkan (anggarannya)," kata Bupati Tulungagung Syahri Mulyo di Tulungagung, Selasa.
Untuk itu, kata Syahri, tim bagian appraisal Pemkab Tulungagung saat ini sedang melakukan evaluasi dan perhitungan harga tanah serta bangunan.
Namun ia mengatakan sementara belum ada standar ukur harga yang spesifik karena proses masih berjalan.
"Sepanjang itu sesuai aturan, pemerintah daerah tentu akan ambil alih aset dalem kanjengan ini. Tapi jika tidak, tentu kami tidak mau menabrak undang-undang," katanya.
Syahri menegaskan, keputusan untuk membeli aset Dalem Kanjengan atau tidak sangat bergantung dari hasil taksiran harga normal atas tanah dan bangunan yang secara keseluruhan memiliki luas 2.173 meter persegi.
Namun, Syahri mengaku daerah belum mendapat penawaran resmi dari pihak keluarga ahli waris Dalem Kanjengan tersebut.
Salah satu ahli waris rumah berbentuk joglo (satu unit paviliun) bekas kediaman Bupati ketujuh Tulungagung Pringgokusumo itu mengakui saat ini intens merealisasikan wacana akuisisi aset cagar budaya itu ke pemda setempat.
"Bukan tabu ya. Kami kalau sudah namanya ikhlas, itu kan tanpa pamrih. Jadi kalau pemerintah daerah memang menghendaki mereka yang akan menentukan harganya," kata RM Mufangat Noto Koesoemo, salah satu ahli waris rumah/dalem kanjengan kepada wartawan.
Ia menegaskan, prinsip yang dipegang keluarga besar dan abdi dalem Pringgokoesoemo adalah kelayakan serta standar harga normal yang berlaku saat ini.
"Kami tidak akan mematok harga lebih tinggi dibanding pasaran, karena niat kami lebih bagaimana aset budaya daerah ini terawat dan dilestarikan sebagai 'tetenger' Kabupaten Tulungagung," katanya.
Mufangat mengatakan, keluarga besar Pringgokoesoemo sudah mufakat bulat untuk hanya menyerahkan hak akuisisi aset dalem kanjengan ke Pemkab Tulungagung, dan tidak ke pihak lain, swasta, termasuk salah satu anggota keluarga.
Menurut dia, keputusan itu mempertimbangkan makna kesejarahan rumah yang dulunya menjadi pusat pemerintahan di tangan adipati/bupati Tulungagung tersebut.
"Dalam negosiasi tidak ada yang tidak ketemu. Pasti ada titik temu jika masing-masing pihak serius dan memiliki semangat pelestarian aset cagar budaya yang sama dengan kami," ujarnya.
Wacana pemindahan/penjualan aset Dalem Kanjengan sebelumnya pernah mencuat pada 2008.
Saat itu, bangunan dengan tanah seluas 2.171 meter persegi yang terdiri dari satu rumah induk, satu paviliun, rumah abdi dalem dan dapur yang ditinggali keturunan Bupati ketujuh Tulungagung Pringgokusumo waktu itu ditawarkan ke pemkab setempat dengan nilai Rp1 miliar.
Harga penawaran tersebut mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP) kala itu.
Keinginan melego bangunan bersejarah yang menjadi tempat penyimpanan salah satu pusaka keraton Mataram yang bernama tombak Kiai Upas (lidah) Baru Klinting tersebut akhirnya pudar karena muncul pro/kontra di pihak keluarga ahli waris maupun masyarakat Tulungagung.
Pusaka Kiai Upas merupakan cikal bakal berdirinya Kabupaten Tulungagung yang berdasar sejarah sebelumnya daerah bawahan kerajaan Mataram.
Menyitir salah satu versi sejarah, tombak Kiai Upas berasal dari potongan lidah keturunan salah satu raja Kerajaan Mataram Islam yang bernama Ki Ageng Mangir.
Faktor keberlangsungan nasib pusaka Kiai Upas sebagai alasan mendasar pihak keluarga ahli waris Pringgokusumo berniat menjual Dalem Kanjengan saat itu. Sedangkan faktor lainnya adalah mengenai persoalan beban biaya perawatan, termasuk pembayaran rutin pajak tahunan (PBB) serta ongkos air dan listrik.(*)