Jember (Antara Jatim) - Momentum peringatan Hari AIDS Sedunia selalu diperingati setiap tanggal 1 Desember dan biasanya rangkaian kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan atau menggelar aksi damai yang berkaitan dengan isu HIV/AIDS.
Namun tanpa sadar terkadang keberadaan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) masih belum mendapat perhatian dan dukungan, bahkan menjadi kelompok yang terpinggirkan atau terkucilkan di kalangan masyarakat, dan tidak sedikit yang mencibir para ODHA tersebut.
Semua orang tentu tidak ingin menderita HIV/AIDS yang dapat menggerogoti daya tahan tubuhnya hingga menyebabkan kematian, namun justru kalangan ibu rumah tangga menduduki peringkat tertinggi yang tertular virus mematikan tersebut dari suaminya.
"Semua orang tidak ingin menderita HIV/AIDS, namun hasil pemeriksaan menyatakan saya positif dan awalnya sangat berat bagi saya dan keluarga untuk menerima kenyataan sebagai ODHA," kata salah seorang penderita HIV/AIDS di Jember, sebut saja namanya Bunga.
Bunga terus berusaha kuat menerima kenyataan pahit sebagai penderita HIV/AIDS yang harus mempertahankan hidupnya dengan mengonsumsi ARV hingga akhir hidupnya, namun ia merahasiakan penyakit itu dari teman-teman dan lingkungannya karena stigma dan perlakukan diskriminasi selalu membayangi para ODHA.
"Saya menjalankan aktivitas sehari-hari dengan normal, tanpa ada kendala, namun setiap hari harus mengonsumsi ARV sebanyak dua kali secara rutin dan disiplin," tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, seorang ODHA juga harus memperhatikan batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan seperti menjaga makanan, menjaga istirahat, dan selalu minum obat ARV secara teratur.
"Selama ini keluarga sangat memberikan dukungan penuh kepada saya untuk tetap bertahan hidup dengan mengonsumsi obat ARV, bahkan ayah saya setiap bulan yang mengambilkannya karena kebetulan saya kuliah di luar Jember," katanya.
Ia mengaku beruntung memiliki keluarga yang memberikan dukungan penuh untuk tetap bertahan hidup sebagai ODHA, padahal tidak sedikit mereka yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena mengidap HIV/AIDS.
"Ketika seseorang sudah tervonis menjadi ODHA, sering kali mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan mereka tidak mau bersalaman dengan kami, padahal HIV/AIDS tidak menular dengan bersentuhan tangan," ujarnya dengan nada sedih.
Stigma terhadap ODHA merupakan sebuah bentuk diskriminasi sosial, bahkan cara pandang yang keliru, sempit, dan bahkan negatif turut mendiskriminasi para pengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut.
Mereka selalu dikaitkan dengan penyakit moralitas dan bahkan bukan rahasia lagi, pengidap HIV/AIDS disangkal dan diusir oleh keluarga sendiri. Hal itu merupakan beban sosial yang sangat berat yang harus ditanggung ODHA.
"Saya berharap pada momentum peringatan HIV/AIDS, masyarakat sudah sadar untuk tidak mengucilkan atau melakukan tindakan diskriminasi terhadap ODHA karena kami sangat membutuhkan dukungan untuk tetap bertahan hidup. Beban kami sudah cukup berat menderita penyakit yang mematikan ini," katanya menambahkan.
Stop Diskriminasi dan Stigma
Stigma dipahami sebagai cara pandang negatif terhadap pribadi dan kelompok sosial tertentu karena itu stigma juga merupakan bentuk diskriminasi yang sering dijumpai, terutama stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menghentikan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, seorang ODHA bernama Wijianto rela berjalan kaki keliling Indonesia untuk melakukan kampanye pencegahan terhadap penularan HIV/AIDS dan menyadarkan masyarakat untuk tidak menjauhi penderita penyakit yang menggerogoti kekebalan daya tahan tubuh itu.
"Saya melakukan ekspedisi keliling Indonesia dengan tujuan untuk berkampanye tentang pentingnya mencegah tertularnya HIV/AIDS dan menyadarkan masyarakat terhadap stigma ODHA karena kami selalu dipandang negatif," katanya saat perjalanannya tiba di Kabupaten Jember beberapa waktu lalu.
Pria kelahiran Kabupaten Nganjuk itu membawa sebuah bendera merah putih dengan tas di punggungnya dan menempel sebuah poster bertuliskan "Langkah Kaki Jelajah Negeri. Cegah Penularan HIV, Dukung Orang yang Terinfeksi".
ODHA yang positif terjangkit HIV/AIDS pada 2011 itu ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) tidak selamanya hanya berbaring lemas dan menunggu kematian karena mereka punya semangat untuk tetap bertahan hidup.
"Saya juga memberikan motivasi kepada ODHA di daerah yang saya singgahi selama perjalanan karena berstatus sebagai ODHA bukan akhir dari kehidupan," tuturnya.
Dalam setiap kesempatan memberikan testimoni melalui sejumlah forum, Wijianto dengan semangat mengampanyekan bahaya HIV/AIDS kepada generasi penerus bangsa seperti pelajar dan mahasiswa.
Sedangkan kepada orang yang positif mengidap HIV/AIDS, ia berusaha memberikan motivasi agar tidak mudah putus asa dan berbuat sesuatu hal yang positif untuk masyarakat.
"Mudah-mudahan ekspedisi perjuangan saya untuk mengkampanyekan bahaya HIV/AIDS tidak sia-sia dan masyarakat semakin sadar bahwa ODHA tidak perlu dikucilkan karena mereka sangat membutuhkan dukungan semangat untuk tetap bertahan hidup," ujarnya.
Dalam melakukan aksi jalan kaki keliling Indonesia, ODHA kelahiran Nganjuk itu tidak membawa perbekalan terlalu banyak, namun ia selalu membawa obat ARV untuk menjaga stabilitas dan daya tahan tubuhnya.
Sementara itu, data di Rumah Sakit Daerah (RSD) dr Soebandi Kabupaten Jember menunjukkan peningkatan setiap tahun jumlah ODHA yang ditangani rumah sakit rujukan di Jawa Timur bagian timur tersebut.
"Hingga November 2016 jumlah pasien HIV/AIDS yang ditangani RSD dr Soebandi Jember mencapai 1.515 orang yang bukan hanya warga Jember saja, namun pasien dari beberapa kabupaten tetangga seperti Lumajang, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi," kata Koordinator Konselor Klinik VCT RSD dr Soebandi Jember dr Justina Evi Tyaswati.
Sejauh ini, lanjut dia, stigma dan diskiriminasi masyarakat terhadap ODHA juga masih ada, padahal pasien HIV/AIDS itu membutuhkan dukungan semua pihak untuk tetap bertahan hidup.
"Kami berharap ada bantuan dari pemerintah melalui APBD untuk memberikan edukasi dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat, agar mereka tidak mengucilkan dan melakukan tindakan diskriminasi kepada ODHA karena mereka juga manusia seperti halnya masyarakat biasa," tuturnya.
ODHA membutuhkan dukungan semua pihak dan berhak bebas atau eksis layaknya masyarakat biasa karena mereka berhak untuk bahagia dan sukses seperti orang lain, sehingga momentum peringatan Hari AIDS Sedunia diharapkan dapat mengubah pola pikir mengenai persepsi dan stigma terhadap ODHA.
Hilangkanlah paranoid berlebihan yang melekat dalam benak kita tentang para ODHA karena masyarakat hanya diperbolehkan menjauhi penyakitnya, bukan penderita HIV/AIDS yang sangat butuh dukungan semangat untuk mempertahankan hidupnya.(*)