"Kantor Pengadilan Agama Situbondo dari Januari hingga September 2016 saja sudah menangani 1.859 kasus perceraian ditambah kasus perceraian sisa tahun 2015 yang belum putus sebanyak 352 kasus," ujar Sekretaris Panitera Pengadilan Agama Situbondo, M Nidzam Fickry di Situbondo, Selasa.
Dari angka 1.859 kasus perceraian pada 2016, lanjut dia, yang paling banyak perceraian diajukan atau gugat cerai dilakukan oleh pihak istri, yaitu sebanyak 1.073 kasus dan selebihnya cerai talak atau gugatan cerai yang diajukan suami sebanyak 786 kasus.
Tingginya angka perceraian, menurutnya, sebagian diduga akibat dari kemajuan teknologi. Khususnya kecanggihan media sosial yang memicu ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.
"Faktor ketidakharmonisan rumah tangga memang paling tinggi yang menjadi pemicu terjadinya perceraian pada 2016, yakni mencapai 581 kasus dan berikutnya karena faktor adanya pihak ketiga sebanyak 232 kasus, faktor tidak ada tanggung jawab sebanyak 316 kasus serta faktor cemburu sebanyak 113 kasus," tuturnya.
Ia mengemukakan, terdapat pergeseran faktor penyebab perceraian bila dibandingkan tiga atau empat tahun lalu, jika sebelumnya perceraian didominasi faktor ekonomi, namun pada 2016 terjadinya perceraian karena faktor masalah ekonomi hanya sebanyak 81 kasus, selanjutnya faktor akhlak 17 kasus, serta faktor kawin paksa dan poligami tidak sehat masing-masing delapan kasus.
"Angka perceraian ini diprediksi masih akan terus bertambah, sebab jumlah 1.859 kasus perceraian tersebut terhitung sejak Januari hingga September 2016. Karena masih ada 352 kasus perceraian sisa tahun 2015 yang belum putus," ucapnya.
Ia menambahkan, Kantor Pengadilan Agama Situbondo selama ini tidak langsung mengabulkan semua kasus perceraian yang diajukan, baik oleh pihak istri dan juga suami.
"Yang pasti kami selalu memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat perceraian agar mereka bisa melakukan islah melalui mediasi. Dan sidang perceraian baru dilanjutkan kalau kesempatan mediasi untuk islah keduabelah pihak gagal," katanya menambahkan. (*)
Dari angka 1.859 kasus perceraian pada 2016, lanjut dia, yang paling banyak perceraian diajukan atau gugat cerai dilakukan oleh pihak istri, yaitu sebanyak 1.073 kasus dan selebihnya cerai talak atau gugatan cerai yang diajukan suami sebanyak 786 kasus.
Tingginya angka perceraian, menurutnya, sebagian diduga akibat dari kemajuan teknologi. Khususnya kecanggihan media sosial yang memicu ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.
"Faktor ketidakharmonisan rumah tangga memang paling tinggi yang menjadi pemicu terjadinya perceraian pada 2016, yakni mencapai 581 kasus dan berikutnya karena faktor adanya pihak ketiga sebanyak 232 kasus, faktor tidak ada tanggung jawab sebanyak 316 kasus serta faktor cemburu sebanyak 113 kasus," tuturnya.
Ia mengemukakan, terdapat pergeseran faktor penyebab perceraian bila dibandingkan tiga atau empat tahun lalu, jika sebelumnya perceraian didominasi faktor ekonomi, namun pada 2016 terjadinya perceraian karena faktor masalah ekonomi hanya sebanyak 81 kasus, selanjutnya faktor akhlak 17 kasus, serta faktor kawin paksa dan poligami tidak sehat masing-masing delapan kasus.
"Angka perceraian ini diprediksi masih akan terus bertambah, sebab jumlah 1.859 kasus perceraian tersebut terhitung sejak Januari hingga September 2016. Karena masih ada 352 kasus perceraian sisa tahun 2015 yang belum putus," ucapnya.
Ia menambahkan, Kantor Pengadilan Agama Situbondo selama ini tidak langsung mengabulkan semua kasus perceraian yang diajukan, baik oleh pihak istri dan juga suami.
"Yang pasti kami selalu memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat perceraian agar mereka bisa melakukan islah melalui mediasi. Dan sidang perceraian baru dilanjutkan kalau kesempatan mediasi untuk islah keduabelah pihak gagal," katanya menambahkan. (*)