Batik yang ditetapkan UNESCO dalam daftar "representatif" sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) tujuh tahun lalu masih membutuhkan perjuangan para seniman batik.
Pembatik tentu saja berbeda dengan seniman batik, meskipun bisa saja pembatik juga ada yang masuk kategori seniman batik karena mampu menciptakan ragam batik motif baru.
Dengan adanya motif batik karya Seniman batik mampu membuat berdecak pecinta batik, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Bahkan, pecinta batik tidak segan bersedia mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa memiliki atau mengkoleksi motif batik tertentu yang dianggap memiliki seni yang tinggi.
Berdasarkan catatan Wikipedia bahwa sejarah batik di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan dan raja-raja berikutnya. Kesenian batik secara umum meluas di Indonesia dan secara khusus di pulau Jawa setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.
Teknik batik sendiri telah diketahui lebih sedekad atau satu dekade (millennium), kemungkinan berasal dari Mesir kuno atau Sumeria. Teknik batik meluas di beberapa negara di Afrika Barat seperti Nigeria, Cameroon dan Mali, atau di Asia, seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, Iran, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Hingga awal abad ke-XX, batik yang dihasilkan semuanya adalah batik tulis. Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia Pertama berakhir atau sekitar tahun 1920.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia di zaman dulu.
Awalnya, aktivitas membuat batik hanya terbatas dalam keraton saja dan ia dihasilkan untuk pakaian di raja dan keluarga kerajaan serta para pembesar. Oleh kerana banyak dari pembesar tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar dari keraton dan dihasilkan pula di tempatnya masing-masing.
Lama kelamaan kesenian batik ini ditiru oleh rakyat jelata dan selanjutnya meluas sehingga menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangga mereka untuk mengisi waktu luang.
Antara bahan-bahan pewarna yang dipakai adalah terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Seorang perajin batik yang juga sekaligus pencipta motif batik di Tuban Uswatun Hasanah (46) menjelaskan tidak banyak pembatik di sejumlah desa di Kecamatan Kerek, yang mampu menciptakan motif batik baru.
"Saya selalu berusaha menciptakan motif batik baru. Setelah motif itu diterima masyarakat baru kemudian perajin batik di Kecamatan Kerek, ikut memproduksi kain batik motif yang baru saya ciptakan," jelas peraih Kalpataru yang mampu menciptakan lebih dari 175 motif batik Tuban itu.
Meski demikian, menurut dia, di Tuban memiliki batik khas yaitu batik tenun gedog yang menjadi perburuan kolektor batik dari berbagai negara di luar negeri.
Batik tenun gedog menjadi perburuan karena proses pembuatannya sangat tradisional, mulai dari pembuatan tenun yang berasal dari benang lawe, sampai pewarnaan yang memanfaatkan bahan alami.
"Pasar menghargai tinggi produk-produk yang mempertahankan bahan alami dan cara pembuatan tradisional," tutur warga Kadungrejo, Kecamatan Kerek itu.
Terkait kemampuannya mencipta itu Uswatun pernah memperoleh tawaran dari seorang pengusaha untuk menetap di Singapura. Tapi tawaran itu ditolak dengan alasan kalau dirinya berkarya menciptakan motif batik baru di Singapura akan diklaim negara setempat.
Hal serupa terkait minimnya seniman pencipta motif batik juga terjadi di Bojonegoro yang telah memproklamirkan kelahiran batik "Jonegoroan" beberapa tahun lalu.
Batik "Jonegoroan" yang lahir di era kepemimpinan Bupati Bojonegoro Suyoto masih terbatas hanya memiliki 10 motif batik.
Itupun berdasarkan pilihan juri ahli batik Yogyakarta yang menetapkan 10 motif batik daerah setempat dalam lomba yang digelar yang diikuti para pelukis dalam lomba melukis batik yang digelar pemerintah kabupaten (pemkab) setempat.
Berdasarkan motif batik yang memenangkan lomba itulah kemudian bertumbuhan perajin batik yang membuat berbagai batik berdasarkan 10 motif batik "Jonegoroan".
Meskipun sudah berjalan beberapa tahun, tapi batik "Jonegoroan" tidak beranjak bertambah motifnya karena nyaris tidak ada motif baru karya seniman batik.
Yang jelas, UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu juga memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang
Oleh karena itu tidak untuk kelangsungan hidup batik di Tanah Air sampai bisa mendunia harus didorong tumbuhnya seniman atau pencipta motif batik baru dari perajin batik, atau bisa juga melibatkan para perupa.
Dengan tumbuhnya seniman pencipta motif batik baru tidak tertutup kemungkinan akan lahir seniman batik profesional sekelas Raden Saleh, Affandi, atau kelas dunia Picasco, dan Leonardo Davinci dengan karya legendarisnya Monalisa. (*)