Surabaya (ANTARA) - Tidak henti-hentinya, terorisme meneror masyarakat, sebagaimana terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Jalan Dr Mansur, Medan, Sumatera Utara, Minggu (28/8/2016).
Kekejaman terorisme mengingatkan umat Islam pada zaman sebelum Islam lahir yakni zaman Jahiliyah, zaman yang tidak berperikemanusiaan.
Bom Medan dilakukan oleh seorang pria dengan membawa bom rakitan, menyerang seorang pastor di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, dengan dilakukan saat kebaktian pukul 08.20 WIB.
Berdasarkan e-KTP, pelaku yang belum menikah dan belum berumur 18 tahun itu tercatat lahir dan beralamat di Jalan Setiabudi GS, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang.
Terorisme merupakan hasil fabrikasi sosial (social fabrication). Dalam pemahaman ini berarti sebagian dari masyarakat sipil, pejabat negara, langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam menyemai dan menyuburkan tumbuh dan berkembangnya terorisme tersebut. Bisa berupa kebijakan negara, perilaku dan sikap yang tidak adil (diberbagai bidang), diskriminatif, koruptif, "negelectful", dan ignorance.
Langsung maupun tidak langsung dan disadari atau tidak, perilaku atau sikap itu telah mengakibatkan meluasnya kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, inilah yang diantara penyebab tindakan reaktif yang agresif, keras dan radikal, terutama jika saluran untuk mengekspresikan masalah mengalami kebuntuan. Dalam konteks ini tidak jarang, ajaran agama kemudian hanya menjadi cover, alat untuk men-justifikasi tindakan tersebut.
Keberadaan hukum dan peraturan sebagai refleksi dari kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah. Negara tidak hanya sebagai aktor yang memiliki otoritas/kekuasaan untuk mengatur, menindak dan menghukum (memberi sanksi), tapi juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, memenuhi dan memajukan HAM warga negaranya, karenanya UU untuk itu dipandang perlu dan penting dengan mempertimbangkan penataan kebijakan di sektor politik, sosial, budaya dan ekonomi.
RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mengelaborasi akar masalah atau penyebab munculnya terorisme, siapa yang menentukan individu atau kelompok tertentu yang dikategorikan sebagai terorisme, termasuk siapa yang punya otoritas/petugas berwenang menentukan individu atau kelompok sebagai korban tindak terorisme dan petugas berwenang menjalankan rehabilitasi/kompensasi korban tindak terorisme, serta pembahasan lebih konkret tentang apa itu deradikalisasi.
Ke depan, perlu mengupayakan "big data analisis" untuk mencegah perekrutan dan serangan terorisme, dan perbaikan sistem detensi, sistem imigrasi, serta pencatatan sipil. Dan bagaimana ini semua bisa tergambar dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selama beberapa dekade para ahli telah berusaha merumuskan definisi yang dapat diterima secara universal tapi sulit diterima / diakui semua pihak. Alasan yang melatarbelakangi sulitnya memberikan definisi tunggal akan terorisme adalah karena sepanjang sejarah makna terorisme terus mengalami perubahan, dalam beberapa periode menunjukkan teror itu identik dengan instrumen yang digunakan oleh negara, namun di lain waktu, teror dilambangkan dengan taktik yang digunakan oleh sebuah organisasi tertentu melawan kekuasaan resmi negara.
Schmidt dan Joungman (2005) mencatat sedikitnya terdapat 109 definisi yang berbeda dari terorisme, mayoritas mengatakan identik dengan aksi kekerasan, kepentingan politik, dan ancaman. Pengertian terorisme selalu mengalami pergeseran setiap waktu, dalam hukum internasional hak azasi manusia sendiri, terorisme dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan warga sipil dalam upaya mengejar tujuan politik, atau ideologi tertentu.
Adapun Tindak Pidana Terorisme menurut UU Nomor 15 Tahun 2003 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Terorisme adalah tindakan setiap orang atau korporasi yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Ancaman kekerasan adalah setiap per buatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.
UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjelaskan "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun".
Perilaku Jahiliyah
Ingat Terorisme, ingat zaman Jahiliyah yang adalah zaman sebelum munculnya Islam, kejahatan, kekacauan dan radikalisme merajalela dimana-mana. Pada masa Jahiliyah, yang kuat menindas yang lemah, wanita dianggap sebagai pemuas hawa nafsu bagi laki-laki.
Zaman Jahiliyah tidak berlaku aturan. Moralitas telah jatuh di titik paling rendah. Pengrusakan, perang antarsuku, penganiayaan, kezaliman, anarkisme, dan hal-hal buruk lainnya terjadi dalam zaman itu. Kejahatan-kejahatan ini tidak hanya marak dilakukan orang Arab pada zaman itu, melainkan juga dilakukan di sebagian besar peradaban dunia pada masa itu. Tidak ada yang menghargai hak-hak asasi manusia. Orang kaya menindas yang miskin, dan mereka menciptakan aturan apapun yang mereka inginkan.
Zaman Jahiliyah Tidak ada moralitas yang ideal atau aturan dalam masyarakat. Korupsi, kepercayaan pada takhayul, kebebasan yang tak terkendali, dan pemuasan terhadap kenikmatan duniawi menjadi hal yang umum pada masyarakat. Para lelaki di masa itu mempunyai banyak istri dan tidak dibatasi jumlah istri yang dapat mereka miliki. Demikian pula sebaliknya, para wanita di zaman itu juga boleh memiliki suami sebanyak yang mereka inginkan.
Perzinahan adalah hal yang umum terjadi, anak tiri dapat menikahi ibu tiri mereka dan bahkan kadang-kadang seorang saudara kandung menikahi saudari kandung mereka sendiri. Pria dan wanita bebas melakukan apapun menuruti hasrat. Posisi wanita sangat direndahkan dalam masyarakat, mereka diperlakukan sebagai barang yang hina dan sebagai alat pemuas nafsu belaka. Kelahiran seorang anak perempuan dianggap sebagai kutukan yang besar. Mempunyai anak perempuan merupakan hal yang memalukan di zaman itu, dan mempunyai anak laki-laki adalah sebuah kebanggaan. Karenanya, tidak jarang orang-orang di masa itu membunuh bayi-bayi perempuan mereka. Sebaliknya, mereka sangat berbangga hati apabila yang lahir adalah bayi laki-laki. Wanita di zaman itu tidak memiliki hak waris dari suami atau ayah kandung mereka.
Perbudakan berlaku di masyarakat Jahiliyah, dalam bentuk yang paling buruk, banyak sekali budak-budak kulit hitam yang diperdagangkan di pasar-pasar. Budak-budak ini diperlakukan layaknya seekor binatang. Mereka seringkali dicambuk, dipukul, disayat dengan pedang, dan disiksa dalam bentuk-bentuk lainnya. Seorang tuan bahkan boleh menyiksa budaknya sampai mati.
Bukan Syahid
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah". (QS An-Nisa' [4]: 29-30).
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…" (QS. al-Baqarah [2]: 195).
Bom Bunuh Diri tidak dibenarkan oleh agama, namun ada yang diperbolehkan bila 'Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan). Banyak dari para pelaku teroris adalah orang yang bersedia untuk membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri, sementara pelaku 'amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah SWT, sedangkan pelaku 'amaliyah al-Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bom bunuh diri itu hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya'su) dan mencelakai diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar al-da'wah) maupun di daerah perang (dar al-harb).
Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.
Ciri-ciri terorisme antara lain:.
(1) Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkis / chaos (faudha).
(2) Tujuannya untuk menciptakan rasa takut, rasa tidak aman dan/atau menghancurkan pihak lain.
(3) Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.
Sedangkan ciri-ciri Jihad antara lain:.
(1) Sifatnya demi kebaikan untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan.
(2) Tujuannya menegakkan agama Allah dan /atau membela hak-hak pihak yang terzalimi.
(3) Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran yang sudah jelas.
Jadi, Amaliyah al-Istisyhad berbeda dengan bunuh diri. Dalam kaitan itu, Al-Quran dan kaidah fikih menyebutkan beberapa hal mendasar, yakni:.
1. Islam mengizinkan berperang karena pihak musuh telah memerangi orang Islam atau menganiaya orang Islam atau telah mengusir orang Islam dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar. (QS. Al-Hajj [22]: 39 – 40).
2. Islam mengharamkan bunuh diri dengan cara apa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada balasan kelak di akhirat kecuali neraka. (QS. An-Nisa [4] : 29 – 30).
3. Islam mengharamkan menghabisi nyawa seseorang. Dalam keadaan terpaksa boleh membunuh seseorang apabila ia telah membunuh orang lain atau telah membuat kerusakan di muka bumi yang membahayakan umat manusia. (QS. Al-Baqarah [2]: 195).
4. Tindakan terpaksa atau darurat yang bersifat khusus harus dihindari apabila tindakan tersebut akan membawa dampak yang bersifat umum (lebih luas) (Qaidah Fiqhiyah).
Solusi Tepat
Salah satu persyaratan terpenting bagi demokrasi adalah adanya kemampuan dari pemerintah dan rakyat untuk menyelesaikan konflik sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial dan disintegrasi politik. Karena itu, solusi pemberantasan terorisme yang dipilih Indonesia dengan model law-enforcement sudah tepat.
Indonesia sebagai negara demokrasi telah meninggalkan model negara authorianisme. Berhasil melakukan proses pemberantasan terorisme dengan sistem berbasis criminal-justice (melalui penindakan oleh polisi dan diproses melalui pintu pengadilan yang berlapis). Criminal-justice adalah sistem yang lebih baik, dibandingkan dengan menggunakan pendekatan yang lainnya (other approach) yang kadang proses penangkapan terorisme sangat gelap dan tidak dapat diungkap pada publik.
Negara yang menggunakan pendekatan militer seperti Pakistan, (Asia Selatan) dan Yaman (Timur Tengah) justru menimbulkan kerawanan terhadap instabilitas politik dan mengarah perpecahan. Indonesia lebih soft dibanding Amerika Serikat sebagaimana diungkapkan oleh Sidney Jones bahwa Indonesia lebih baik dalam memanage terorisme dan dampak-dampaknya, ketimbang negara lain, termasuk seperti tahanan di Guantanamo yang sampai saat ini masih ada korban penangkapan akibat terorisme, sudah enam tahun tanpa diadili.
Pendekatan lunak (soft approach) melalui program deradikalisasi adalah alternatif yang dapat berupa:.
1) mengedepankan fungsi intelijen dan Binmas tingkat Mabes dan kewilayahan;
2) Mengimplementasikan community policing yang mencakup partnership, policing by consent-public legitimacy-bukan political tools of ruler, problem oriented policing-preventif bukan reaktif, dan interagency approach;
3) memperkuat kewaspadaan masyarakat agar tidak terpengaruh terorisme dan tidak bersimpati kepada gerakan terorisme, menyelesaikan akar masalah lokal (seperti dalam kasus Poso dan daerah konflik lainnya);
4) bekerja sama dengan instansi terkait untuk mengidentifikasi daerah-daerah dan elemen masyarakat yang telah terkena faham radikal dan melakukan langkah yang relevan agar faham radikal tidak meluas dan menetralisir daerah/elemen yang terkena faham tersebut;
5) mengaktifkan mekanisme yang sudah pernah berjalan positif, seperti kegiatan siskamling, wajib lapor bagi orang asing / tamu 24 jam dan lain-lain; 6) kampanye anti terorisme masuk dalam dunia pendidikan, termasuk pengayaan kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. (*)
--------------------------
*) Penulis adalah pengamat radikalisasi dan kawasan, Direktur Eksekutif Lembaga Clean Governance (LCG), peserta Sekolah Keamanan Nasional di Puskamnas Universitas Bhayangkara Raya, Jakarta, dan mantan Sekjen PP IPNU.