"Otewe siap menerima pemesanan makanan dan minuman serta jasa antar (ojek). Bisa anda pesan dari sekarang dengan 'chat' langsung ke kontak ini".
Begitulah bunyi siaran pesan melalui fasilitas "smartphone" yang dikirim secara rutin oleh sang pengirim, Buhara.
Nyaris tiap hari, mahasiswa Fisip Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep itu mengirim siaran pesan tersebut sejak beberapa bulan lalu.
Awalnya, bagi kalangan wartawan di Sumenep, Jawa Timur, siaran pesan tersebut agak janggal dan mengejutkan.
Maklum, sang pengirim biasanya mengirim siaran pesan tentang pemberitahuan atau rencana adanya aksi atau demonstrasi yang akan dilakukannya bersama kawan-kawannya.
"Sejak pertengahan 2015, kami memang mengurangi aktivitas malam untuk membahas isu publik dalam rangka aksi. Untuk sementara bukan waktunya lagi. Saat ini, kami fokus mematangkan diri untuk belajar dan berjuang memperoleh uang dengan membuka usaha," kata Buhara.
Bersama tujuh kawannya dan didorong oleh salah seorang dosennya, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sumenep itu belajar berwirausaha.
Pada pertengahan 2015, mereka membuka usaha dengan berjualan makanan cepat saji dan minuman pada malam hari di pinggir jalan protokol di Sumenep.
Namun, usaha awal mereka tidak bertahan lama, hanya sekitar tiga bulan, karena terpaksa tutup setiap kali hujan mengguyur kawasan kota.
"Kalau sudah hujan, memang harus tutup. Maklum, kami jualan makanan dan minuman itu hanya dengan memanfaatkan trotoar di pinggir jalan raya alias lesehan," ujarnya, sambil tertawa.
Saat itu, Buhara dan sejumlah temannya yang memang tidak memiliki modal, sempat kebingungan untuk meneruskan keinginannya belajar berwirausaha.
Kondisi tersebut membuat dirinya bersama sejumlah temannya mengintensifkan diskusi dengan salah seorang dosennya, Alqaf Harto Maryono, untuk mencari solusi sekaligus supaya keinginan berwirausaha tidak padam.
Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Buhara dan kawan-kawan bersama dosennya yang biasanya dipanggil Antok itu, sepakat untuk membuka usaha baru, yakni jasa antar.
Tepat 10 November 2015, Buhara bersama tujuh kawannya, dua diantaranya adalah rekan berjuang di PMII Sumenep, mendeklarasikan "Otewe", ladang baru mereka belajar berwirausaha.
Hari pertama kerja dan layanan 'Otewe' disengaja pada 10 November supaya mereka selalu termotivasi dengan semangat Hari Pahlawan.
"Minimal, kami belajar dan berusaha menjadi pahlawan bagi diri kami sendiri dengan tidak meminta uang lagi kepada orang tua guna membiayai kuliah," kata Buhara.
Jangan bayangkan deklarasi usaha delapan mahasiswa Fisip Unija itu berjalan meriah dan mewah, karena ketika deklarasi pun mereka dalam posisi kurang percaya diri akibat tidak memiliki tempat usaha secara mandiri.
"Hingga sekarang pun, kondisi tempat usaha kami tidak mengalami perubahan sejak deklarasi, yakni di garasi mobil. Itu pun pinjam alias menumpang secara gratis kepada Pak Antok," ujarnya, sambil tersenyum.
Sebelum deklarasi, Buhara dan kawan-kawannya itu "menyulap" garasi mobil di rumah dosen mereka menjadi layaknya kantor dalam menjalankan usahanya.
Di garasi mobil tersebut, ada komputer, meja dan kursi, papan tulis, dan selembar kertas karton ditempelkan di dinding yang ternyata program dan target kerja mereka selama setahun.
"Apa adanya, bukan ada apanya. Bagi kami, hal yang paling penting adalah kepuasan para pelanggan ketika melakukan pemesanan kepada kami," kata Buhara.
Pada awal berdirinya, Otewe yang memang bergerak di bidang jasa antar makanan dan minuman kepada para pelanggannya di kawasan Kecamatan Kota, memproduksi satu jenis makanan dan minuman.
Saat ini, mereka juga bekerja sama dengan sejumlah pengelola warung/rumah makan guna melayani pelanggan yang ingin memesan makanan dan minuman lainnya.
"Alhamdulillah, hingga sekarang usaha kami masih bisa bertahan. Omzet tiga bulan belakangan ini sekitar Rp30 juta/bulan. Saat ini, kami juga telah memiliki satu cabang di luar Kecamatan Kota, yakni di Pasongsongan," ujarnya.
Diawali Ngopi Bersama
Antok, dosen Fisip Unija Sumenep yang mendorong dan mendampingi Buhara dan tujuh kawannya supaya berani berwirausaha itu menceritakan, pertemuan dengan mereka berawal dari "ngopi" bersama.
"Kami memang sering bertemu dengan para mahasiswa di warung. Biasa, minum kopi dan 'cangkru'an'. Dari beberapa kali ngopi itu, Buhara dan kawan-kawannya ternyata menyampaikan keinginannya untuk berwirausaha," ujarnya.
Secara pribadi, kata dia, pihaknya memang ingin melihat mahasiswanya bisa mandiri dan tidak tergantung kepada orang tuanya selama berkuliah.
"Mengalir begitu saja. Ketika itu, saya hanya ingin semangat sejumlah mahasiswa kami itu untuk mandiri, menemukan jalan keluar atau terwadahi," ucapnya.
Ia merasa "eman" ketika semangat mahasiswa untuk berwirausaha harus padam, akibat tidak terwadahi atau tak kunjung terealisasi.
Idealisme seorang mahasiswa tidak akan tergadai jika belajar untuk mandiri dan tak tergantung kepada orang tua selama berkuliah, dengan cara berwirausaha.
Bahkan, hidup mandiri yang salah satu caranya bisa dengan berwirausaha merupakan sesuatu yang ideal bagi mahasiswa di era kini.
"Kami kenal dan paham betul dengan Buhara dan kawan-kawannya yang menjadi perintis 'Otewe'. Saya memang ikut tertantang ketika Buhara menyampaikan keinginannya untuk berwirausaha," kata Antok.
Ia cukup bangga dengan kinerja delapan mahasiswanya yang saling bahu-membahu mendirikan dan mengembangkan "Otewe" sebagai ladang usaha mereka.
"Mengenai garasi mobil, keluarga kami yang memang menawarkan mereka untuk memanfaatkannya sebagai tempat untuk merintis usaha. Untuk ke depan, terserah mereka," ujarnya, sambil tertawa.
Antok senantiasa mengingatkan kepada delapan mahasiswanya itu untuk terus berinovasi mengembangkan usahanya, karena mempertahankan lebih sulit dibanding membentuknya.
Sementara Rektor Unija Sumenep, Alwiyah menjelaskan, perguruan tinggi idealnya melahirkan generasi pencipta lapangan kerja baru.
"Dalam konteks itu, penanaman pola pikir dan mental sebagai pencipta lapangan kerja bagi mahasiswa harus dilakukan sejak awal mereka kuliah supaya tidak hanya berorientasi menjadi pencari kerja setelah lulus," katanya.
Selanjutnya, pendampingan dengan memberikan kesempatan dan ruang bagi mahasiswa untuk belajar berwirausaha harus dilakukan oleh perguruan tinggi.
Sejak beberapa waktu lalu, Alwiyah bersama sejumlah dosen Unija mengintensifkan komunikasi untuk membentuk "inkubator bisnis" guna memanasi mahasiswa supaya berwirausaha atau mencari dan menciptakan peluang usaha secara mandiri.
Inkubator bisnis tersebut akan diformat sebagai "rumah bersama" bagi mahasiswa Unija yang berminat untuk mandiri atau mendapatkan uang sendiri dengan cara berwirausaha.
Alwiyah yang sebelumnya Dekan Fakultas Ekonomi Unija itu juga mengemukakan, sejak beberapa tahun lalu, pihaknya sebenarnya telah mendorong mahasiswa untuk berwirausaha dengan melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) berbasis wirausaha.
Sebelum PKL, calon peserta PKL yang tergabung dalam beberapa kelompok itu diminta berwirausaha sesuai keinginannya.
"Namun, sebagian besar bisnis mereka memang tidak bertahan lama. Maklum, semangat mahasiswa untuk berwirausaha itu masih pasang surut," kata Alwiyah.
Ia berharap inkubator bisnis yang akan digagasnya itu mampu melahirkan mahasiswa yang "tahan banting" untuk berwirausaha dan selanjutnya menciptakan lapangan kerja dengan memanfaatkan potensi lokal. (*)