Surabaya (Antara Jatim) – Badan Lingkungan Hidup (BLH) Surabaya mengatakan bahwa sejumlah perguruan tinggi atau universitas di ibu kota Provinsi Jawa Timur itu tidak sedikit yang membuka rumah sakit (RS) untuk melengkapi kebutuhan sarana Fakultas Kedokteran (FK).
"Universitas tidak bisa sembarangan buka rumah sakit, namun mereka harus melengkapi RS tersebut dengan Instalasi Pengelolaan Limbah (IPL) yang baik," kata Kepala BLH Surabaya, Musdiq Ali Suhudi dalam seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Surabaya di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Rabu.
Ia mengatakan pertumbuhan RS di Kota Pahlawan cukup banyak, beberapa di antaranya didirikan oleh universitas, namun jika ada universitas dilengkapi dengan RS, maka pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik itu harus jelas.
"Jika pengajuan awal hanya universitas, maka mereka harus memperbaiki. Dari sisi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus ada RS, kemudian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) juga diperbaiki ulang," tuturnya.
Menurut dia, hal-hal semacam itu juga harus diperhatikan karena dampak yang ditimbulkan akan berbeda, seperti sisi lalu lintas dan lain sebagainya, sedangkan dari sisi aturan IPL, universitas juga harus patuh dengan regulasi di Pemkot Surabaya.
"Selain harus mematuhi aturan IPL dan regulasi Pemkot Surabaya, juga seharusnya mereka menyesuaikan dengan regulasi di pusat, seperti RS harus menyediakan IPL cair, tempat penampungan sementara (TPS) bahan berbahaya dan beracun (B3)," paparnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, apabila RS bekerja sama dengan pihak ketiga, maka pihak ketiga itu harus berlisensi, termasuk angkutan limbahnya yang harus benar-benar terdaftar.
"Jika kemudian hari diketahui pihak ketiga itu tidak memiliki lisensi, RS bisa terkena sanksi, meskipun sudah bekerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan limbah, RS dan angkutan akan terkena," ungkapnya.
Musdiq menambahkan di Kota Surabaya yang susah dikendalikan bukan pendirian RS oleh PT atau universitas, melainkan yang sulit diawasi yaitu transformasi dari rumah ke restoran, rumah ke tempat cuci mobil atau laundry, rumah berubah menjadi penginapan, hotel, dan lain sebagainya.
"Di daerah Kertajaya, awalnya itu semua dulunya rumah, kemudian seiring perkembangan kota, sebagian berubah menjadi tempat makan, show room mobil, dan lain sebagainya. Perubahan ini terkadang tanpa ada pergantian sepadan jalan, kemudian fasilitas pengelolaan limbahnya," terangnya,
Oleh karena itu, ia meminta kepada aparat jajaran di tiap wilayah untuk membantu mengawasi, terlebih pejabat setempat seperti lurah, camat, dan jajaran di sana. (*)