Surabaya (Antara Jatim) - Guru Besar Biologi Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Agoess Soegiyanto mengatakan, tumpahan minyak mentah di laut sebenarnya bisa ditangani, jika sumber daya manusia di Indonesia mempunyai niat untuk mengatasinya dan tidak ada kendala pendanaan dalam penanganannya.
"Ada dua cara dalam penanganan tumpahan minyak mentah di laut. Pertama, dengan menyedot minyak itu kembali ke dalam drum dengan cara minyak yang tumpah harus dikepung dengan pelampung agar tidak meluas. Cara ini dinilai cocok dipakai untuk volume minyak yang tidak banyak," katanya ketika ditemui di Fakultas Sains dan Teknologi Unair Surabaya, Rabu.
Ia mengatakan, selain menggunakan pelampung juga bisa dengan menggunakan boom atau barrier untuk suatu perairan atau laut yang tidak berombak atau bararus. Peletakan boom dengan cara menyudut, sehingga minyak dapat terkumpul lalu dihisap dengan pompa, biasanya pompa hanya dapat menghisap minyak dengan ketebalan seperempat inchi.
"Cara ini membutuhkan ketersediaan boom atau pembatas untuk mencegah penyebaran minyak atau barrier yang tahan api, namun cara ini memiliki kendala ketika peristiwa tumpahan besar akan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar," paparnya.
Sedangkan cara yang kedua, ia menambahkan dengan penyemprotan zat kimia tertentu pada minyak di laut. Zat tersebut mengandung bakteri yang bisa mengubah bentuk minyak menjadi gelembung-gelembung kecil. Zat yang saya maksud ada berbagai jenis dan disarankan untuk memakai yang kandungan toksinnya sedikit karena ada zat yang jumlah toksinnya lebih berbahaya daripada minyak itu sendiri.
"Cara kedua itu paling cocok digunakan untuk keadaan mendesak, seperti apabila ombak dan kecepatan angin sama-sama tinggi. Hal itu bisa membuat minyak cepat sampai ke pantai. Apabila minyak sudah menyentuh pantai, dampaknya bisa sangat luas, sedangkan jika menempel di mangrove misalnya akan sangat susah dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkannya,” tambah dia.
Kedua cara itu bisa digunakan secara bersamaan yang harus ditangani dengan cepat karena jika tanpa penanganan, dampaknya pada laut bisa sampai berbulan-bulan, seperti dengan cara menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet), sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan.
"Saya mencontohkan daerah Tuban yang pernah mengalami kebocoran minyak sebagai bentuk kecelakaan yang tidak sering terjadi, apalagi daerah Tuban dekat dengan wilayah nelayan, sehingga dampaknya akan sangat terasa bagi ekosistem ikan di sana. Melihat kasus ini, moratorium pengiriman minyak lewat pipa tidak perlu dilakukan," tandasnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, perkembangan teknologi perminyakan itu sama dengan kedokteran karena perkembangannya sangat pesat, sehingga tidak perlu dikhawatirkan, namun perlu adanya pengawasan agar tidak terjadi peristiwa yang dapat merusak ekosistem, seperti kebocoran minyak maupun tumpahan minyak di perairan. (*)