"Saya dan kiai-kiai sepuh (senior) serta rais-rais syuriah prihatin dengan situasi ini. Di sini (Jombang), NU didirikan, apa kita mau meruntuhkannya di sini juga".
Itulah fatwa Rais Aam PBNU 2010-2015, KH Mustofa Bisri, yang akrab disapa Gus Mus, di Jombang, 2 Agustus 2015. Apalagi, Muktamar Ke-33 NU itu pun akhirnya molor dari jadwal penutupan pada 5 Agustus menjadi 6 Agustus 2015, sehingga Wapres Jusuf Kalla pun batal menutup.
Fatwa itu akhirnya menyudahi polemik AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi atau mekanisme pemilihan secara musyawarah mufakat), yakni Rais Aam dipilih secara musyawarah (AHWA) dan bila sulit akan dilakukan secara voting oleh para rais syuriah itu sendiri.
Sebelumnya, polemik AHWA berlangsung sengit. Satu pihak meminta AHWA diberlakukan muktamar lima tahun mendatang (2020), karena belum ada dalam AD/ART NU dengan target menjauhkan NU dari kepentingan politik praktis. Sementara pihak lain memaksakan AHWA pada muktamar kali ini (2015), karena ada target politik praktis untuk jabatan pada tingkatan regional dan nasional dalam 3-4 tahun mendatang, kendati dengan argumentasi yang indah, sekaligus "menelikung" puluhan juta nahdliyin.
"Maafkan saya terkait semua hal itu (polemik), doakan ini adalah kali terakhir saya menjabat (Rais Aam). NU lebih besar dari masalah 'tetek bengek' (polemik) itu," ujar Gus Mus yang juga pengasuh Pesantren Roudlotul Tholibin, Rembang, Jawa Tengah itu.
Buktinya, saat sembilan kiai yang tergabung dalam AHWA dan dipimpin KH Maemun Zubeir pun menunjuk Gus Mus sebagai Rais Aam lagi, malah Gus Mus menunjuk Mbah Maemun ((KH Maemun Zubeir, pengasuh Pesantren Sarang, Jawa Tengah)). Ya, Gus Mus tidak mau dengan urusan 'remeh temeh' yang justru diperebutkan para elite NU dalam Muktamar Jombang itu.
Sikap Gus Mus itu juga bukan hal baru, karena sikap serupa sudah pernah ditunjukkan dalam bedah buku bertajuk "Kiai Bisri Syansuri, Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap" di PWNU Jatim, 1 Februari 2015. "Kalau saya... itu tidak pantas, karena ilmu saya hanya seujung kuku. Saya kira ulama yang pantas adalah KH Tholhah Hasan atau KH Muchit Muzadi," tukasnya.
Dan, ketika Mbah Maemun dan Muchit Muzadi pun tidak mau, Gus Mus bersikeras untuk tidak mau, selama kedua kiai sepuh/ulama itu masih hidup. (Mbah Maemun menolak karena dia ingin istiqomah mengasuh pesantren. "Sudah banyak kiai yang meninggalkan pesantren, saya akan ke pesantren saja," ucap Mbah Maemun). Akhirnya, KH Ma'ruf Amin pun terpilih sebagai Rais Aam PBNU mendampingi KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum PBNU.
Tentu, sikap Gus Mus yang tidak mau jabatan (Rais Aam PBNU) itu aneh untuk ukuran saat ini, namun sikap "sang teladan" itu cukup menohok ulu hati ribuan muktamirin dan tokoh NU se-Indonesia dengan meninggalkan pesan penting yakni jangan menomersatukan jabatan (politik praktis) hingga menghalalkan segala cara, tapi berbuat menomersatukan umat NU. (*)