Surabaya, 16/6 (Antara) - Putri sulung Presiden ke-4 RI (Alm) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman (Alissa Wahid), menegaskan isu lingkungan bukan hanya soal penghijauan, namun juga soal kemanusiaan, keadilan, dan kearifan tradisi.
"Jadi, kalau Gus Dur terlibat dalam isu lingkungan hidup itu karena aspek kemanusiaan, keadilan, dan kearifan tradisi. Gus Dur itu berbasis nilai, bukan power atau status sosial," katanya dalam seminar nasional di Auditorium Tugu Pahlawan Surabaya, Selasa.
Dalam seminar bertajuk "Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pandangan Agama-Agama" yang diadakan Jaringan Gusdurian (Gerdu) Suroboyo itu, pimpinan Jaringan Nasional Gusdurian itu menjelaskan isu lingkungan hidup di mata Gus Dur adalah ikhtiar menegakkan Islam Rahmatan lil Alamin.
"Bagi Gus Dur, kebijakan pemimpin yang tidak maslahah atau tidak rahmatan lil alamin itu perlu diingatkan. Jadi, ada nilai-nilai. Misalnya, kita beli makanan, maka uangnya adalah milik kita, tapi makanan adalah milik bersama, karena itu makanan yang tidak dihabiskan dan dibuang itu salah," katanya.
Alissa Wahid yang juga aktivis yang mengadvokasi masyarakat di lereng Gunung Kendeng itu mengatakan isu lingkungan juga tidak bisa dianggap hanya masalah bagi korban, karena dampak dari perusakan lingkungan itu akan menimpa siapapun, baik korban, perusak, maupun orang lain.
"Jadi, apa yang terjadi di Kendeng (Jateng) atau di Papua itu jangan dianggap bukan masalah kita," katanya dalam diskusi yang juga menampilkan Romo Agustinus Tri Budi Utomo (Romo Didik/Gereja Katolik Keuskupan Surabaya), Purnawan D Negara (Dewan Daerah WALHI Jatim), dan Gus Fayat (Probolinggo) itu.
Dalam kesempatan itu, Purnawan D Negara dari Dewan Daerah WALHI Jatim menyatakan pencemaran atau perusakan lingkungan yang parah itu bukan di laut, hutan, atau kawasan pertambangan, melainkan di ruang kantor.
"Masalah yang terjadi antara Masyarakat Tengger dengan Taman Nasional atau antara Masyarakat Adat di Luar Jawa dengan perusahaan pertambangan itu menunjukkan perizinan taman nasional atau pertambangan mengabaikan aspek kultural, bahkan sering kali belum ada studi kelayakan, tapi izin sudah keluar," katanya. (*)