Surabaya (ANTARA) - Dua tokoh nasional berpengaruh yakni Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA dan psikolog Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menerima penghargaan Soetandyo Award 2021 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga di Surabaya, Selasa.
"Acara penganugerahan tahunan FISIP Unair ini memiliki tujuan untuk pemberian penghargaan terhadap dedikasi Profesor Soetandyo dalam mengembangkan ilmu-ilmu sosial dan Hah Asasi Manusia (HAM)," kata Dekan FISIP Unair Prof. Bagong Suyanto.
Prof. Bagong mengatakan Soetandyo Award juga mendorong lahirnya tokoh-tokoh muda yang memiliki concern dan kemampuan mengembangkan spirit Soetandyo di bidang ilmu sosial dan HAM.
Prof. Soetandyo, lanjut Bagong, adalah pendiri FISIP UNAIR yang memiliki semangat multikulturalisme yang luar biasa. Untuk itu, FISIP menggagas anugerah Soetandyo Award yang sudah berlangsung sejak tujuh tahun lalu.
"Waktu mendirikan FISIP, prinsipnya Profesor Soetandyo masing-masing departemen tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Masing masing departemen bisa belajar ilmu lain, saling menyapa, dan menjadi seorang yang generalis. Makanya ada tokoh-tokoh yang kita pilih dan kita apresiasi untuk mendapat Soetandyo Award," ujarnya.
Drs. Gitadi Tegas Supramudyo, M.Si selaku perwakilan dari tim dewan juri menyampaikan bahwa ada berbagai tahapan penilaian sebelum akhirnya ditentukan dua nama sebagai penerima award. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, hak asasi, dan egaliter adalah beberapa semangat yang diusung dalam pemberian award itu.
"Ketika kami berdialog dengan Prof Nasar, beliau menyampaikan kalau ada kandidat yang lebih bagus dari saya, monggo silahkan’. Nah, kesederhaan dan kerendahatian beliau ini yang menjadi salah satu poin yang akhirnya menentukan. Termasuk dengan Mbak Alissa Wahid," ucap Gitadi.
Kesederhanaan, kerendahan hati, serta perhatian besar terhadap HAM dan kesetaraan gender menjadi nilai yang membawa Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasarudin dianugerahi penghargaan tersebut.
Wakil Menteri Agama 2011-2014 itupun memandang Soetandyo Award sebagai amanah. Pihaknya siap award tersebut dicabut apabila dikemudian hari melakukan kesalahan.
"Saya bukan manusia sempurna. Saya anak seorang desa terpencil yang bahkan kalau ke kecamatan harus melewati gunung dan danau di Sulawesi sana. Saya tak punya apa-apa selain membawa prinsip hadits Nabi dan Al-Quran yang mengajarkan rasa cinta pada makhluk hidup," ucap sosok yang pernah mengenyam pendidikan di enam universitas luar negeri itu.
Sementara itu, Alissa Wahid menerima penghargaan tersebut setelah selama bertahun-tahun telah malang-melintang memperjuangkan multikulturalisme, HAM, serta hak-hak bagi kaum minoritas.
"Anugerah ini saya terima sebagai amanah dan refleksi diri. Saya masih seorang murid yang mencoba meneladani sosok Soetandyo. Hari ini saya diingatkan Prof. Tandyo dan Unair untuk meneguhkan tekad, kemana akan saya arahkan energi, pikiran, waktu, dan uang saya bagi perjuangan yang lebih besar," tutur putri Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid tersebut. (*)