Jakarta (ANTARA) - Banjir informasi di era internet tak terhindarkan. Kemudahan membuat, memberikan dan menyebarkan informasi di jagad maya mengakibatkan lenturnya sebuah kebenaran informasi.
Kebenaran informasi dapat dipelintir, dibelokkan, yang hasilnya justru kadangkala menjauhi faktanya. Banyak orang kemudian menyebutnya era post-truth. Era pascakebenaran. Era saat kebenaran dapat dikaburkan.
Banjir informasi menghasilkan pandemi hoaks. Hoaks menyebar cepat, karena cepatnya informasi dibagikan dan berpindah tangan. Cukup dengan sentuhan jari dan jempol.
Dulu, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudi Antara sering membuat guyonan, jempolmu lebih cepat dari otakmu.
Tanpa pikir panjang, informasi apapun di gawai, langsung disebar. Cukup sentuhan jempol, tak perlu berpikir informasi tersebut benar atau salah. Tak perlu juga dipikir dampaknya. Yang penting membagikan informasi.
Hal ini senada disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid. Banjir informasi memang sulit untuk dihindari, katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Selasa.
Saat semua orang kini dapat memiliki gawai yang dalam hitungan detik, informasi dari belahan dunia manapun dapat diketahui. Dan di era milenial kini informasi sudah menjadi salah satu kebutuhan.
Banjir informasi tentu saja menyisakan residu. Seperti banjir pada umumnya, banjir informasi juga menciptakan penyakit, hoaks namanya.
Banjir yang tak pernah berhenti ini membuat hoaks juga terus berkeliaran. Untuk itu perlu vaksinasi untuk mengatasi penyakit ini.
”Vaksinasi terhadap banjir informasi, karena dari banjir informasi itu ada informasi yang baik dan ada yang tidak. Nah hoaks masuk dalam informasi yang tidak baik, ‘penyakit’, virus informasi. Karena itu harus dilakukan dengan vaksin di dalam tubuh,” ujar Putri Sulung Presiden RI ke-4 (Alm) KH Abdurrahman Wahid di Sleman, Selasa.
Vaksin hoaks
Ia mengatakan saat ini memang sulit untuk menghindari banjir informasi khususnya dari internet. Untuk itu, vaksin pertama yang harus dilakukan adalah mengelola informasi itu dari dalam diri sendiri, tidak bisa dari luar.
Alissa menerangkan bahwa masyarakat harus dibiasakan untuk berpikir kritis. Karena menurutnya jika terbiasa untuk kritis maka tidak asal menerima ketika ada informasi yang masuk.
Ia mencontohkan kalau informasi tentang COVID-19 maka sumber yang kredibel adalah dari pemerintah dan juga dari ahli medis, kalau dari yang lain harus dicek terlebih dahulu.
Contoh lainnya misalnya tentang terorisme ektrimisme mengajak untuk melakukan hal-hal yang muatannya adalah kebencian, maka perlu melihat apakah dalam agamanya mengajarkan kebencian?
Tentu tidak ada agama yang mengajarkan kebencian, untuk itu berarti itu informasi yang tidak benar, tutur anggota tim ahli Gugus Tugas Nasional Gerakan Revolusi Mental Kemenko PMK ini mencontohkan.
Vaksin kedua, menurut Alissa, mencari guru agama yang mumpuni. Vaksin ini diperlukan untuk mencegah hoaks yang mengatasnamakan agama dan ideologi yang jelas akan membahayakan negara. Ia menegaskan agar tidak asal mengambil dari internet.
Guru agama haruslah orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi dan diakui. Kemudian jika terkait dengan ideologi negara, maka informasi itu diukur juga.
”Kita cek apakah ideologi tersebut sesuai dengan Pancasila atau tidak? Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak ? Kalau tidak sesuai berarti kita tolak. Itu vaksin yang kedua,” katanya.
Vaksin ketiga menurut dia adalah menguji apakah informasi ini selaras dengan apa yang digariskan oleh pemerintah.
Peran pemerintah
Lebih lanjut, Putri Sulung Presiden RI ke-4 (Alm) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu menyampaikan bahwa hoaks dapat dibagi menjadi 2 kategori. Pertama yang berasal karena orang iseng dan kedua ada orang yang memang secara ideologi sedang memperjuangkan agenda tertentu.
Menurut dia, kedua tipe hoaks tersebut berbeda. Hoaks iseng biasanya dibuat oleh anak-anak untuk seru-seruan. Tipe ini karena mereka ini belum punya rasa tanggung jawab terhadap hidup bermasyarakat.
Padahal hoaks yang mereka buat bisa membahayakan. Karena itu anak muda harus selalu diingatkan agar tidak sembarangan membuat bercandaan atau konten.
Kedua, hoaks karena ideologis, bisa karena agenda politik, agama atau rasial lainnya. Hoaks ini dibuat oleh kelompok-kelompok militan radikal untuk tujuan tertentu. Kelompok ini menghalalkan segala cara termasuk menggunakan hoaks.
Untuk itu, ia mengimbau pemerintah untuk menindak kelompok yang menyebarkan kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan. Menurutnya pemerintah harus berperan untuk menghentikan kelompok-kelompok ini dari menyebarkan hoaks.
Pemerintah perlu untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat. Misalnya bekerja sama dengan media massa, agar hoaks tidak semakin menyebar, katanya.
Pemerintah juga perlu untuk memfasilitasi kelompok-kelompok agama supaya mereka bisa melakukan penyuluhan pendidikan kepada umatnya masing-masing. Sehingga praktek beragamanya itu adalah praktek beragama yang moderat yang tidak ekstrim. Jadi tugas pemerintah mengkonsolidasikan, kemudian juga memfasilitasi.
Selain itu, peraih Magister Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu juga menyebut bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat diharapkan untuk lebih aktif di media sosial. Karena menurutnya, saat ini hoaks banyak berkembang dengan sangat cepat karena adanya media sosoal dan internet. Jadi jika pemuka agama dan tokoh masyarakat tidak hadir di dalam media sosial maka akan sulit.
Menurut wanita kelahiran Jombang, 25 Juni 1972 itu, pesan damai, pesan persatuan, pesan yang kritikal tersebut akan kalah dengan banjir informasi yang ada di media sosial dan internet jika para tokoh ini tidak aktif di wilayah tersebut.
Selain itu, para tokoh agama dan tokoh masyarakat ini bisa lebih aktif juga untuk ikut meminimalisasi gerakan-gerakan kelompok agama yang lebih ekstrim ini, katanya.