"Merekalah generasi 100 tahun Indonesia merdeka. Mereka harus memiliki tiga kompetensi, yakni kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan. Selain itu, mereka harus diajari untuk (bersikap) cinta dan bangga menjadi Bangsa Indonesia". Itulah ungkapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam pengantar buku karyanya berjudul "Menyemai Kreator Peradaban" (Penerbit Zaman, Jakarta, edisi kedua/revisi, April 2014, halaman 11). Ya, menteri kelahiran Gunung Anyar, Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959, itu, mengajak bangsa ini untuk mencintai Generasi Indonesia saat ini untuk menyemai benih-benih Generasi 2045 (100 tahun Indonesia merdeka) itu sejak sekarang. Bagi mantan Direktur PENS dan Rektor ITS itu, pendidikan merupakan kunci dari kisah sukses siapapun, termasuk keluarga miskin, karena itu pendidikan ramah sosial harus menjadi kebijakan pemerintah (halaman 23). Itulah langkah yang mengawali kebijakan Kurikulum 2013. "Ada dua hal penting yang menentukan akses dalam pendidikan yakni ketersediaan (sekolah) dan keterjangkauan (biaya). Itulah penyebab adanya anak putus sekolah, selain sekolah sebagai kebutuhan dasar masih belum menjadi tradisi," katanya (halaman 30). Untuk merealisasikan dua hal penting itulah, dirinya selaku Mendikbud menggulirkan BOS (bantuan operasional sekolah) untuk pendidikan dasar dan menengah serta BOPTN (bantuan operasional perguruan tinggi negeri) untuk pendidikan tinggi. Selain bantuan untuk sekolah/universitas, dirinya juga menggelontorkan bantuan untuk siswa/mahasiswa miskin yakni Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk siswa pendidikan dasar dan menengah serta Bidik Misi untuk siswa pendidikan tinggi (mahasiswa). "Awalnya, kebijakan itu kita atur melalui Permendikbud, terus kita tingkatkan melalui PP 66/2010, bahkan sekarang diperkuat lagi melalui UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi," kata alumni SDI Al Islah Gunung Anyar dan SMPI Wahid Hasyim itu (halaman 34). Intinya, UU Dikti mewajibkan perguruan tinggi untuk menyiapkan 20 persen kapasitas untuk kuota mahasiswanya bagi siswa tidak mampu. "Karena bentuknya UU, maka perguruan tinggi yang tidak melaksanakan akan berarti melanggar UU. Jadi, keberpihakan kita jelas dan mengikat," katanya. Pendidikan Hati Pendidikan merupakan kunci sukses, karena pendidikan yang menekankan pada tiga kompetensi (sikap, pengetahuan, ketrampilan), termasuk (sikap) kecintaan kepada bangsa atau nasionalisme, akan melahirkan generasi yang menyuburkan optimisme, mencerdaskan bangsa, dan mengatasi kegersangan sosial (halaman 129-150). "Seorang yang optimisme akan selalu mencari hikmah dan celah kesempatan di balik persoalan yang dia hadapi. Orang yang cerdas dalam kehidupannya tidak hanya salah menyalahkan, tidak mencari kredit poin untuk kepentingannya, tanggung jawabnya tidak lemah, dan tidak menempatkan diri lebih mulia daripada orang lain," katanya. Menurut dia, pendidikan yang seperti itu sangat mendesak, mengingat saat ini ada gejala kegersangan sosial, seperti berkurangnya kesantunan, kehangatan interaksi sosial, sensitivitas sosial, dan justru aksi kekerasan berkembang, termasuk kekerasan dalam berungkap. "Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun manusia yang utuh dan membangun tatanan sosial yang teduh. Di antara sekian banyak ranah pedagogik yang harus diberi perhatian khusus saat ini adalah ranah hati," katanya (halaman 147). Bagaimana cara mendidik hati? "Nabi mengajarkan untuk berlaku lembut kepada anak. Begitulah pedagogik hati yakni lewat keteladanan dan pembiasaan. Nabi berpesan, bantulah anak-anakmu berbuat baik. Siapa yang mau, keluarkan keduharkaan yang ada dalam diri sang anak," katanya (halaman 149). Untuk menunjukkan pentingnya pendidikan hati itu, Mohammad Nuh menuangkan sedari halaman 150 hingga halaman terakhir tentang ikhtiar membangun peradaban yang dimulai dari masa pembentukan diri dan menyemai masa pembentukan itu hingga membentuk peradaban. Pembentukan diri itu antara lain seperti yang dialaminya semasa kecil di kampung Gunung Anyar. Menteri yang anak seorang petani dan pekerja keras HM Nabhani (almarhum) itu mengutip pandangan ulama klasik Imam Tirmidzi untuk mengawali pembentukan karakter dengan menata hati. "Imam Tirmidzi menata hati dengan membagi hati dalam empat lapis yakni dada (shadr), hati (qalbu), hati kecil (fu'ad), dan lubuk hati (lubb). Untuk menata keempat lapis hati itu perlu lima pohon peradaban, yakni kasih sayang, jujur, syukur, sabar, dan ilmu," katanya (halaman 176-190). Tidak hanya itu, Mohammad Nuh juga mengungkap rahasia hidup sukses yang menjadi bagian dari masa kecilnya (masa pembentukan), yakni berbakti kepada orangtua, membiasakan shalat malam, rajin bershalawat, gemar berbagi, dan kerja keras. "Kala itu, suasana kampung di berbagai penjuru Nusantara. Pagi ke sekolah, siang ke tempat bermain (atau, istirahat), sore hingga bakda Isya ke langgar (mushalla/masjid). Saya sangat merindukan suasana kampung seperti itu, suasana dengan celupan moral-spiritual (shibghah Allah)," kata Nuh, mengenang (halaman 305). Lain di kampung (masyarakat) dan sekolah, lain pula di rumah (keluarga). Di rumah, Nuh semasa kecil mendapat "warisan" dari sang ayahanda yakni bacaan shalawat untuk ditiupkan kepada anak-anaknya di malam hari (suwuk) dan tradisi silaturrahmi. Tidak hanya silaturrahmi kepada kerabat, Nuh juga sering diajak sang ayahanda bersilaturrahmi kepada tokoh/kiai, di antaranya KH Abdul Hamid Pasuruan, KH As'ad Syamsul Arifin Asembagus-Situbondo, KH Abdul Jalil Mustaqim Tulungagung, KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi Kedinding-Surabaya, KH Abdullah Faqih Langitan-Tuban, KH Ahmad Tijani Sumenep, dan sebagainya (halaman 303-321). Argumentasi K-13 Agaknya, pendidikan hati atau pendidikan karakter untuk masa pembentukan itulah yang mengilhami Mohammad Nuh untuk merancang Kurikulum 2013 yang merupakan ikhtiar menyemai Sang Kreator Peradaban untuk Indonesia 2045. "Pendidikan hati di masa pembentukan itu harus ditumbuhkan sejak jenjang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), karena merekalah yang akan menjadi pelaku utama pada 30-an tahun ke depan (2045)," ujar suami dari drg Laily Rachmati itu. Untuk itu, maka kurikulum (Kurikulum 2013) adalah pendidikan karakter. Ada tiga kelompok pendidikan karakter yakni pendidikan yang menumbuhkan kesadaran sebagai mahluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa (kompetensi sikap), pendidikan yang terkait dengan keilmuan (kompetensi pengetahuan), pendidikan yang terkait dengan keahlian/bakat (kompetensi keterampilan), dan pendidikan yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia/nasionalisme (halaman 19). Berangkat dari konsep itu, tutur alumni SDI Al Islah Gunung Anyar, Surabaya, yang mendapat beasiswa S2 dan S3 di Prancis itu, maka Kurikulum 2013 menekankan pada pendidikan karakter dengan tiga kompetensi yakni sikap (sikap spiritual/ketuhanan dan sikap sosial/kebangsaan), pengetahuan, dan keterampilan. "Kurikulum 2013 bukan dirumuskan tanpa evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya. Contohnya, Laporan TIMSS 2011 bahwa kurang dari 70 persen materi pelajaran Matematika dan IPA yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP, maka kekurangan itu dilengkapi pada kurikulum yang baru itu," katanya (halaman 51). Karena karakter mulia itu meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan, maka pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 akan dapat diwujudkan dengan tiga model yakni pengajaran/ketrampilan, keteladanan/modelling, dan pembiasaan/habituation (halaman 76). "Dengan ketiga model itu, maka standar evaluasi dalam Kurikulum 2013 juga bukan hanya kognitif, melainkan penilaian berbasis tes dan portofolio. Selain tes baku (ujian/rapor), guru juga menggunakan metode portofolio untuk mengamati para siswa, seperti perhatian, semangat, keterlibatan dalam diskusi, dan minat," urainya (halaman 119). Sayang sekali, buku "Menyemai Kreator Peradaban" itu belum dikelompokkan dalam bab secara sistematik, sehingga argumentasi dalam 352 halaman itu menyebar dalam banyak lembaran yang perlu ditelusuri dalam sebuah "benang merah" untuk menyimpulkan argumentasi di balik lahirnya Kurikulum 2013. Namun, argumentasi lahirnya Kurikulum 2013 (K-13) itu cukup jelas yakni pendidikan harus membentuk karakter yang baik, sebab kebaikan itu lebih penting daripada kepintaran, karena kebaikan akan mendorong kepintaran yang bermanfaat, sedangkan kepintaran belum tentu melahirkan kebaikan, apalagi kemanfaatan. Intinya, kreator peradaban itu ditentukan tiga bekal yakni pintar, terampil, dan berkarakter. Artinya, anak yang dibekali kepintaran belum tentu bisa menyelesaikan masalah pada zamannya, tapi anak yang dibekali karakter akan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam zaman apapun. "Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dari masamu," kata Sahabat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis pada sampul buku itu yang dijadikan rujukan oleh Mohammad Nuh. (*)
Berita Terkait

Pakar: Argumentasi dalam "Draft" Revisi UU KPK Lemahkan KPK
16 Februari 2016 17:12

Dosen Jerman Pelajari Kurikulum Pendidikan di Indonesia (Video)
20 Oktober 2017 21:04

Penerapan K13 Sampang di 193 Sekolah Dasar
26 Juli 2017 19:43

Dispendik Jember Targetkan 25 Persen Sekolah Terapkan K-13
16 September 2016 13:25

Mendikbud: Kurikulum Apapun Hanya "Nama"
6 Agustus 2016 16:11

LPMP Jatim Latih Ulang Guru K-13
25 Mei 2016 19:19

Mendikbud: Sistem Penilaian Kurikulum 2013 Disederhanakan
17 April 2016 15:11

Kemdikbud Kebut Revisi Buku Kurikulum 2013
7 Januari 2016 14:24