BRTI Desak Regulasi untuk Jaringan "FO"
Selasa, 9 September 2014 18:09 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mendesak pemerintah untuk mengatur jaringan "fiber optic" dengan regulasi, karena teknologi kabel bawah laut yang menggunakan serat (benang) kaca/plastik untuk pengiriman data itu sudah tidak membebani APBN atau "zero budget".
"Selama ini, jaringan fiber optic (FO) itu zero budget, karena dibangun swasta atau BUMN, tapi kabel laut yang investasinya mahal itu perlu diatur dengan regulasi, karena tanpa regulasi akan menyebabkan persaingan antarkontraktor FO yang tidak sehat dan juga kesenjangan kawasan barat-timur Indonesia yang tajam," kata komisioner BRTI Nonot Harsono di Surabaya, Selasa.
Di sela diskusi panel bertajuk "Peran ICT dalam Infrastruktur Ekonomi dengan Zero Budget APBN" yang dibuka Wakil Rektor IV ITS Prof Dr Darminto MSc di Rektorat ITS Surabaya itu, Nonot Harsono yang juga penulis buku "Telekomunikasi untuk Kemakmuran Bangsa" itu menjelaskan persaingan antarkontraktor FO dan kesenjangan barat-timur itu merugikan rakyat.
"Karena itu, pemerintah melalui Kominfo perlu mengeluarkan regulasi FO itu. Intinya, regulasi yang memberikan pembatasan dalam pembangunan kabel bawah luat untuk wilayah tertentu, atau regulasi yang menertibkan pembangunan kabel bawah laut agar tidak tumpang tindih dalam satu wilayah, sebab FO dalam satu rute itu bisa dipakai bersama," katanya.
Selain itu, regulasi untuk pemerintah daerah agar daerah memberi kemudahan pada wilayah yang dilintasi pembangunan FO. "Regulasi tentang kemudahan yang diberikan pemerintah daerah itu untuk menghindari pungutan mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, bahkan PT KAI yang wilayahnya terlintasi, padahal pembangunan FO itu bukan barang mewah lagi sejak tahun 2008," katanya.
Dalam diskusi panel yang didukung "Bloomberg Businessweek" itu, ia mencontohkan Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 1/2010 tentang Jaringan Telekomunikasi sudah ada, tapi regulasi itu belum maksimal, karena pemerintah belum melakukan pembatasan kontraktor FO dalam satu rute, sehingga mubazir, karena berlebihan.
Selain itu, tanpa adanya regulasi menyebabkan FO hanya tersambung pada Ring Sumatera, lalu Kalimantan dan Sulawesi belum semuanya terhubung, bahkan di kawasan Maluku-Papua hanya ada jaringan utama yang juga hanya ada pada titik-titik tertentu, sehingga terjadi kesenjangan dalam bidang TIK.
"Jadi, regulasi FO dari pemerintah itu sangat penting untuk menjamin kesehatan pelaku usaha di bidang telekomunikasi, sehingga masyarakat tidak dirugikan, karena infrastruktur TIK (ICT) itu sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebab TIK itu mendekatkan konsumen dan produsen secara 'online' (daring/dalam jaringan)," katanya.
Selain itu, TIK (melalui infrastruktur TIK yang baik) akan mendorong pelayanan publik yang semakin baik dan terbuka akibat adanya peran TIK melalui e-government, e-budgeting, e-procurement, e-edukasi, dan e-system yang selama ini juga menjadi "target" dari pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK. (*)