Surabaya (AntaraJatim) - Pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga Surabaya Basis Susilo MA menegaskan bahwa protes Singapura terkait penamaan KRI Usman Harun tak perlu ditanggapi, karena protes itu terlalu kecil untuk skala ASEAN. "Biarkan saja, jangan ditanggapi berlebihan, nanti akan berhenti sendiri. Bagi kita, Usman dan Harun itu 'kan anak sendiri, lha wong anak sendiri kok nggak boleh diakui," katanya kepada Antara di Surabaya, Minggu. Menurut Dekan Fisip Unair itu, persoalan Usman Harun itu sendiri sudah selesai dengan adanya pengakuan dari tokoh Singapura sendiri, yakni Lee Kuan Ye. "Lee Kuan Ye saja mengakui, lha kok sekarang disoal, namanya cari masalah, jangan ditanggapi saja," katanya di sela-sela menerima kunjungan anggota DPR RI ke Kantor Manajemen Rektorat Unair Surabaya pada beberapa waktu lalu. Apalagi, katanya, Singapura itu hanya separuh luasnya dibandingkan dengan Surabaya, karena itu persoalannya terlalu "kecil" untuk diangkat ke Forum ASEAN. "Jadi, urusan ketersinggungan seperti itu tidak perlu dibawa ke Forum ASEAN, nanti toh akan hilang sendiri, kecuali kalau bersifat sengketa yuridis," katanya. Ia menilai persoalan itu muncul dari keinginan segelintir orang Singapura untuk menunjukkan "kebesaran" mereka, karena mereka merasa tidak sebesar Surabaya, baik luas wilayah maupun jumlah penduduknya, sedangkan Indonesia sekarang memiliki 150 jutaan kelas menengah. "Ada orang Singapura yang cemburu saja pada Indonesia, karena kelas menengah Indonesia sekarang banyak, sedangkan mereka sendiri tidak sebesar Surabaya, jadi protes itu jangan dibesar-besarkan, karena nanti akan berhenti sendiri," katanya. Baginya, pemerintah Indonesia harus dapat memilah persoalan dalam skala ASEAN. "Kalau persoalannya kecil ya jangan menguras energi, justru sebaiknya hubungan kerja sama Indonesia dengan Singapura tetap ditingkatkan," katanya. Bahkan, hal itu tidak hanya berlaku untuk Singapura, melainkan hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN juga tidak perlu direcoki dengan persoalan yang tidak penting, namun harus tetap fokus pada kerja sama yang saling menguntungkan. "Kalau persoalan sekecil itu dibesar-besarkan justru akan merugikan kedua negara itu, bahkan ASEAN, karena ada pihak ketiga yang akan diuntungkan dengan konflik yang tidak penting seperti itu," katanya. Dalam konflik itu, Singapura menganggap Usman Harun merupakan teroris yang pernah mengebom Mc Donalds House (MDH) di Singapura pada 10 Maret 1965. Namun, Indonesia justru menilai Usman Harun yang merupakan prajurit KKO (kini, Marinir) itu sebagai pahlawan, mengingat apa yang terjadi dalam konteks kolonialisme, sehingga Usman Harun adalah "anak sendiri" yang patriotis bagi Indonesia. (*)
Pengamat: Protes Singapura Tak Perlu Ditanggapi
Minggu, 23 Februari 2014 6:36 WIB