Oleh Desi Purnamawati "Tuhan saya sudah tidak mampu lagi, terserah kau Tuhan .Saya sudah angkat tangan," ucap Marandus Sirait dengan suara bergetar. Marandus putus asa, pupus sudah semangatnya yang selama ini begitu menggebu melestarikan lingkungan disekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Keputusasaan itu karena Marandus merasa tidak sanggup lagi melihat kerusakan yang terus terjadi di kawasan danau terbesar di Indonesia itu. Berbagai upaya yang dilakukannya baik lewat adat, budaya dan pemerintah tidak mampu lagi mencegah pohon-pohon di Danau Toba dari jarahan tangan-tangan jahil sebab tidak ada lagi yang mendengar. Luapan kekecewaannya ia tunjukkan dengan mengembalikan penghargaan Wana Lestari, penghargaan yang diberikan kepada kelompok atau individu yang dianggap berjasa bagi pelestarian lingkungan. Marandus mendapat penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru pada 2005 karena telah melestarikan kawasan hutan seluas 40 hektare disekitar Danau Toba dengan memanfaatkan sebagai kawasan ekowisata. Marandus, bersama Wilmar Simanjorang serta Hasoloan Manik mengembalikan penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari kepada pemerintah. Pengembalian penghargaan tertinggi bidang lingkungan itu mereka lakukan di depan Istana Presiden pada Selasa (3/9). "Saya tidak tahu dari mana itu Kalpataru yang saya tahu dari Istana Presiden maka saya kembalikan ke istana," kata Hasoloan Manik. Hasoloan Manik mengembalikan Kalpataru yang diperolehnya bersama LSM Pilihi Dairi pada 2010 setelah melakukan berbagai penguatan kapasitas kader lingkungan dan berhasil melakukan gugatan terhadap pelaku perusakan hutan ekosistem Leuser. Banyak laporan kegiatan perusakan hutan yang dilengkapi dengan temuan-temuan tidak direspon pihak terkait. LSM Pilihi sebelumnya telah menyurati Kementerian Kehutanan, Presiden, Kapolri bahkan KPK. Preseden Buruk Deputi bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asaad mengatakan, pengembalian penghargaan bidang lingkungan itu bisa menjadi preseden buruk. "Kita akan tindak lanjuti sebab ini menjadi preseden buruk. Jadi bagaimana kita ajak kawan-kawan kita untuk berjuang bersama, dengan mengembalikan Kalpataru bukan jalan baik untuk lingkungan," kata Ilyas. Dalam sejarah penghargaan Kalpataru yang sudah berlangsung sejak 1980, baru kali ini penerima mengembalikan penghargaan. Selama 33 tahun, Kalpataru telah diberikan kepada 313 aktivis lingkungan yang terbagi dalam empat kategori yaitu perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan. Namun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup pernah mencabut Kalpataru yang diberikan kepada kelompok Ninik Mamak Buluh Cina pada 31 Agustus 2009 karena terbukti merusak hutan adat Buluh Cina Kabupaten Kampar Riau. Ilyas mengatakan, karena pengembalian penghargaan tersebut bukan karena Kalpataru yang bermasalah tapi disebabkan hal diluar itu maka tindak lanjutnya masih akan dibicarakan dengan Dewan Pertimbangan Kalpataru dimana mekanismenya ada di dewan tersebut. Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Keluarga Penerima Kalpataru Lestari (FOKKAL) Tarsoen Waryono menilai ketiga aktivis lingkungan itu kurang sabar dalam melestarikan lingkungan, sehingga mengambil langkah mengembalikan Kalpataru dan Wana Lestari. "Seharusnya mereka mengkomunikasikan dulu permasalahan yang dihadapi, saya pikir dengan komunikasi yang intens akan lebih baik," kata Tarsoen. "Tapi tidak salah juga, mereka sudah berjuang menyurati pihak-pihak terkait tapi tidak direspon," tambahnya. Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah dan aparat berwenang harus tegas dalam menindak pelaku perusakan lingkungan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan para aktivis lingkungan tidak sia-sia. Tetap Berjuang Kalpataru menjadi kebanggaan para aktivis lingkungan, karena upaya mereka melestarikan lingkungan diakui dan dihargai pemerintah, meski bukan tujuan akhir. Sebagai penerima penghargaan, mereka mempunyai beban moral untuk terus memperjuangkan kelestarian lingkungan. "Meski tanpa Kalpataru, kami akan tetap membela dan memperjuangkan lingkungan. Saya janji akan melakukan dua kali lipat usaha saya untuk membela lingkungan, saya tidak akan surut," kata Hasoloan Manik. Hasoloan mengawali kisahnya sebagai aktivis lingkungan karena kesadaran bahwa dalam agama juga diajarkan melindungi lingkungan hidup bagian dari iman. "Maka saya berani tinggalkan anak istri setiap saat ke hutan apabila saya dengar suara gergaji, bukan dengan cara arogan tapi saya ingatkan mereka yang menebang pohon itu," katanya. Begitu juga dengan Marandus Sirait, kesadarannya melindungi lingkungan turun dari orang tua yang sudah menanam pohon di tanah keluarga jauh sebelum ia melakukan penyelamatan lingkungan. "Sampai sekarang bapak saya tidak membolehkan kayu-kayu yang ditanamnya ditebang, demi Danau Toba. Masyarakat menjaganya tapi yang menebang orang lain dan tidak masuk ke kas negara," katanya. Pesta Danau Toba yang kerap digelar setiap tahun menghabiskan biaya miliaran rupiah agar danau vulkanik itu tetap menjadi sorotan mata dunia dinilai Marandus tidak ada artinya jika lingkungan sekitarnya rusak. "Lingkungan rusak, Danau Toba menangis siapa yang mau menghibur, saya sudah angkat tangan....," ucap Marandus. (*)
"Tuhan, Saya Sudah Tak Mampu Lagi..."
Minggu, 8 September 2013 18:55 WIB