Sejarah Tak Tertulis dalam "Sang Kiai"
Sabtu, 8 Juni 2013 13:14 WIB
Film "Sang Kiai" dibuka dengan seorang anak yang diantar ayahnya hendak mendaftar masuk Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, untuk menuntut ilmu agama dan sang ayah berkata, "Saya tidak memiliki apa-apa untuk membayar masuk pesantren".
Langsung saja santri penerima pendaftaran pun menolak keinginan ayah itu, karena tidak memiliki kekayaan berupa hasil bumi untuk disetorkan ke pesantren sebagai sumbangan wali santri untuk menopang kebutuhan konsumsi di pesantren itu.
Mengetahui hal itu, pengasuh pesantren itu Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari langsung menepuk bahu santrinya, "Jangan halangi anak untuk menuntut ilmu. Silakan masuk ke pondok, walaupun tidak memiliki apa-apa".
Itulah sepenggal pernyataan bijak Sang Kiai yang membuat si ayah miskin yang tidak memiliki kekayaan hasil bumi terperangah dan kagum.
Ya, siapa pun yang ingin menuntut ilmu agama kalau orang tuanya tak mampu, dipersilakan masuk ke Tebuireng.
Kendati menggambarkan kehidupan santri bersarung di pondok pesantren itu, sang sutradara Rako Prijanto juga menampilkan unsur "entertainment" tentang percintaan ala santri dan peran perempuan di belakang layar dalam pergolakan merebut kemerdekaan.
Adalah santri bernama Harun (diperankan Adipati Doelken) dan santriwati bernama Sarinah (diperankan Meriza Febriani) yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kisah yang tak kalah romantisnya dengan film lain itu ternyata diketahui oleh Kiai Hasyim Asy'ari. "Sudah sana, kamu besok ke rumahnya. Nanti, aku yang melamarnya," katanya disambut sorak kegirangan Harun.
Sosok Harun dalam film Sang Kiai itu mungkin imajiner, tapi Harun menggambarkan sejarah tak tertulis tentang siapa yang membunuh Brigadir Jenderal AWS Mallaby di Jembatan Merah, Surabaya.
Dalam film itu, Harun yang merupakan anggota Laskar Hizbullah dari Jombang (santri Tebuireng) tampak mendatangi Brigjen Mallaby di dalam mobilnya, lalu menembaknya dari jarak sangat dekat hingga tewas.
Suara tembakan itu didengar pengawal sang jenderal yang kebetulan berada di depan mobil itu, lalu sang pengawal berbalik ke belakang mobil dan melontarkan granat di bawah mobil itu, sehingga Harun yang bersembunyi di balik mobil sang jenderal pun tewas di tempat kejadian perkara (TKP).
Sosok Harun itu mengoyak lembaran pembelajaran sejarah yang sampai saat ini masih misteri, seperti misteri siapa sang pahlawan yang nekat naik Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) dan merobek bendera warna biru pada bendera Bangsa Belanda (merah, putih, biru).
Namun, cerita yang berkembang di masyarakat Mojokerto dan Jombang memang mengarah kepada anggota Laskar Hizbullah yang membunuh Brigjen AWS Mallaby, meski sulit terungkap nama anggota Laskar itu, apakah dari Jombang atau Mojokerto.
Jadi, santri Tebuireng yang membunuh Brigjen AWS Mallaby adalah mozaik sejarah tak tertulis yang ditemukan dalam versi sutradara, Rako Prijanto.
"Saya membuat film itu selama tiga tahun, saya mengalami kesulitan, karena bahannya juga sulit dilacak, karena itu saya membaca disertasi tentang KH Hasyim Asy'ari, saya melakukan survei dengan mewawancarai beberapa saksi sejarah, dan saya pun tinggal beberapa waktu di Tebuireng," kata Rako dalam bedah film di Yayasan Khadijah Surabaya, 18 Mei.
Ya, film "Sang Kiai" mengungkap sejarah tak tertulis, meski "sejarah" itu belum faktual betul, karena santri atau kiai itu sangat ikhlas dalam berjuang, sehingga catatan tertulis dalam sejarah pun nyaris tak ada atau sulit dilacak.
Peran perempuan
Film yang berdurasi 120 menit itu juga menampilkan fakta yang tak tertulis dalam sejarah tentang peran perempuan di belakang layar yang justru signifikan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
"Setelah tiga kali nonton film itu, saya merasakan betul bahwa di belakang tokoh besar selalu ada perempuan perkasa yang memberi semangat untuk komitmen pada cinta Tanah Air dan membelanya," kata Sekjen DPP PKB HM Imam Nahrawi di Surabaya, 1 Juni lalu.
Ya, ada sejumlah orang dekat Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari yang juga mewarnai film itu, seperti KH Wahid Hasyim (diperankan Agus Kuncoro) dan Nyai Kapu (diperankan Christine Hakim) yang mewakili sosok istri sang kiai bernama Masruroh dari Desa Kapurejo, Kediri.
Bahkan, mantan Presiden KH Abdurrahmad Wahid alias Gus Dur juga ditampilkan secara sekilas dalam film itu, tentu saat Gus Dur masih kecil dan dibawa sang nenek untuk bersembunyi ke kampung halamannya di Kediri di tengah medan perjuangan.
Saat itu digambarkan tentara Jepang menyerbu Tebuireng dan menembakkan senjata karena para santri tidak mau memberi tahu dimana keberadaan Sang Kiai.
Jepang menuduh KH Hasyim Asy'ari menghasut para santri untuk melawan Nippon (tentara Jepang) dengan menyulut kerusuhan di Cukir, sebuah wilayah pabrik tebu di sekitar Tebuireng, Jombang.
Saat tentara Jepang mengamuk dengan cara menembakkan senjata ke arah pondok, Hasyim Asy'ari pun keluar dari ruangan dengan didampingi orang dekatnya KH Wahid Hasyim.
"Saya Hasyim Asy'ari yang kalian cari," kata Asy'ari dengan lantang menggunakan sorban dan pakaian serba putih dengan didampingi puluhan santrinya.
Pimpinan tentara Jepang meminta Kiai Hasyim dibawa untuk ditahan, tapi semua santri melakukan perlawanan.
Perlawanan tak seimbang, karena tentara Jepang menggunakan popor senjata untuk memukuli dan menginjak-injak para santri sehingga banyak yang berdarah-darah mempertahankan sang kiai.
Akhirnya, Sang Kiai Hasyim Asy'ari tak tega melihat santrinya "digebuki" dan "ditendangi", maka sang kiai pun membiarkan dirinya dibawa tentara Jepang dengan menggunakan truk ke penjara untuk ditahan.
Di tahanan melalui seorang penerjemah, sang kiai Hasyim Asy'ari diinterogasi untuk mengakui kesalahannya dan tunduk pada perintah Jepang serta mau melakukan "Seikerei" (menyembah Dewa Matahari).
Saat interogasi berlangsung, azan terdengar mengumandang. Hasyim dengan santainya tanpa takut pun berdiri meninggalkan komandan tentara Jepang yang sedang menginterogasi serta penerjemah yang seorang Muslim.
"Kalau kamu seorang Muslim saat mendengarkan azan harus tinggalkan semua kegiatan. Itu adalah panggilan Allah," kata Hasyim kepada sang penerjemah.
Hasyim Asy'ari pun melenggang pergi untuk shalat. Si interogator Jepang dan penerjemah terbengong-bengong melihat sikap religius Hasyim. Sikap segera dalam memenuhi panggilan Allah (azan) itu juga ditunjukkan sang kiai saat sakit.
Dalam waktu yang sama, para santri Tebuireng pun tak tinggal diam, apalagi saat mengetahui Sang Kiai disiksa tentara Jepang dengan dipukuli tangannya dengan palu dan suaranya disiarkan lewat pengeras suara. "Allah... Allah....," begitu suara sang kiai yang terdengar.
Keadaan itu memaksa para santri mengupayakan pembebasan sang kiai dengan unjuk rasa hingga jatuh korban, kemudian mereka pun melakukan upaya damai dengan membaca shalawat di depan penjara hingga akhirnya Jepang memindahkan sang kiai ke penjara di Mojokerto, namun para santri pun berbondong-bondong ke Mojokerto.
"Saya titip bapakmu, kabari segera kondisi bapakmu ya," kata Nyai Kapu kepada anaknya KH Wahid Hasyim yang hendak ke Jakarta bersama KH Wahab Chasbullah dari Pesantren Denanyar, Jombang untuk berunding dengan petinggi militer Jepang.
Ya, pendudukan Jepang ternyata tidak lebih baik dari Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran bendera merah putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei. Itulah yang ditentang KH Hasyim Asyari, karena tindakan itu menyimpang dari akidah Islam yang hanya menyembah Allah SWT.
Tindakan yang berani itulah yang membuat Jepang menangkap KH Hasyim Asyari, namun ikhtiar diplomatis dari anaknya, KH Wahid Hasyim, tak sia-sia. Sang Kiai Hasyim Asy'ari pun dibebaskan dan para santri pun gembira menyambut di depan pintu gerbang penjara dengan melantunkan shalawat. Nyai Kapu pun merawat luka-luka sang kiai dengan sabar.
Perawatan sang kiai itu dilakukan Nyai Kapu sambil berdialog untuk menyemangati terus, termasuk ketika sang kiai sakit dan disalahpahami santrinya bernama Harun, karena sang kiai dianggap mengikuti keinginan Jepang untuk menyerukan masyarakat menanam hasil bumi, lalu hasilnya disetorkan ke Jepang.
Bahkan, Harun pun memilih untuk keluar dari pesantren, karena sang kiai Hasyim Asy'ari membiarkan KH Zaenal Mustofa yang menentang penyetoran hasil itu dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang, apalagi sang kiai juga memenuhi keinginan Jepang untuk mengizinkan santri berlatih militer sebagai bagian dari tentara Jepang, meski keinginan keluar dari pesantren itu sempat dicegah perempuan yang juga istri Harun sendiri, bahkan temannya.
"Tidak semua orang tahu, bapak (panggilan Nyai Kapu kepada suaminya) membiarkan pemengggalan Kiai Zaenal Mustofa, karena setuju dengan sikapnya. Bapak juga mengizinkan santri dilatih militer Jepang bukan untuk ikut Jepang, tapi membentuk laskar tersendiri, yakni Hizbullah. Laskar yang kelak dibutuhkan saat melawan penjajah," ucap Nyai Kapu.
"Fardlu Ain"
Jepang kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari untuk membantu mempertahankan kemerdekaan.
Sang Kiai Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang akhirnya mendorong barisan santri dan massa penduduk Surabaya yang didukung pemuda dari berbagai Tanah Air pun berduyun duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya.
Gema Resolusi Jihad yang intinya meneguhkan bahwa membela Tanah Air adalah "fardlu ain" (kewajiban individu) dalam radius tertentu itu pun menjadi semangat spiritual keagamaan membuat pemuda-pemuda Indonesia berani mati.
Para santri yang sebelumnya telah terlatih militer oleh tentara Jepang pun atas ridho Hasyim Asy'ari pun pergi ke Surabaya untuk berperang melawan tentara sekutu. Laskar Hizbullah bersama santri dan masyarakat selanjutnya tergambarkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang berujung pada tewasnya Brigjen AWS Mallaby.
Resolusi Jihad itu pun merupakan satu fakta lagi dari sejarah yang tak tertulis, karena sejarah lebih menggambarkan semangat Arek-Arek Suroboyo dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membuat tentara Sekutu akhirnya bertekuk lutut, meski Surabaya sempat dibombardir akibat tewasnya jenderal terbaik Sekutu itu.
"Menurut saya, film Sang Kiai yang dapat ditonton khalayak umum di bioskop mulai 30 Mei 2013 itu secara umum mengajarkan pentingnya tiga unsur penting yakni kearifan, cinta, dan politik," ujar warga Surabaya, Arfani.
Menjadi seorang pemimpin, katanya, haruslah arif dan penuh cinta ketika berkuasa, namun juga harus mampu menguasai ilmu perpolitikan agar tidak terjerumus dan dipolitisasi oleh pihak lain.
"Itulah yang dapatkan dari diri Sang Kiai. Beliau arif, cinta kepada keluarga, santri, dan masyarakatnya. Lebih dari itu, beliau memiliki ilmu politik dahsyat yang membuat Belanda, Jepang, dan Inggris pun ampun-ampun," ujarnya.
Hal senada diungkapkan aktris ternama Christine Hakim yang cukup piawai memerankan Nyai Kapu alias Nyai Masruroh, meski dia berasal dari Jambi, namun dia pun menyempatkan diri berkunjung ke Desa Kapurejo di Kediri yang merupakan daerah kelahiran istri dari KH Hasyim Asy'ari itu.
Didampingi sutradara Rako Prijanto dan aktor Ikranegara (pemeran KH Hasyim Asy'ari) dan Agus Kuncoro (pemeran KH Wahid Hasyim) saat bedah film di hadapan ratusan pelajar SMP-SMA di Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU (YTPSNU) "Khadijah" Surabaya, ia menganggap Mbah Hasyim tidak hanya menderita akibat penjajahan, melainkan juga kelaparan akibat penjajah meminta hasil bumi kepada pribumi.
"Buktinya, Nyai Kapu pernah menjual kain batik untuk membeli beras. Saya kira, Mbah Hasyim bukan hanya milik warga NU, melainkan milik bangsa dan negara, bahkan dunia, karena kekuatan angkatan perang penjajah yang bersenjata lengkap itu harus tunduk kepada para santri Mbah Hasyim yang bersenjata ala kadarnya," paparnya.
Selain itu, Mbah Hasyim mengajarkan jihad dalam arti yang benar dan utuh. "Jihad yang bukan hanya membela agama, tapi juga membela Tanah Air itu membuat kita bisa bangga jadi orang Indonesia. Ya, keberadaan negara juga penting untuk bisa bebas mengamalkan agama," urai aktris Indonesia pertama yang main film Hollywood berjudul 'Eat Pray Love' bersama artis Julia Roberts di Bali itu.
Ya, Sang Kiai Hasyim Asy'ari konsisten menerapkan Pancasila. Ia amalkan sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial) sekaligus, bukan seperti FPI atau MUI yang gasak sana, gasak sini.
Sang Kiai Hasyim Asy'ari memandang kemaksiatan sebagai ladang dakwah dan jihad ekonomi, di saat Tebuireng penuh dengan pelacuran dan perjudian, dia bukan lantas menghancurkan tempat-tempat pelacuran dan perjudian, tapi dia dakwahkan bahaya perjudian dan memberikan solusi ekonomi berupa perdagangan kepada penduduk setempat agar terentas dari pelacuran. Pesantrennya memiliki instrumen ekonomi.
Ia juga pengamal sila ketiga (persatuan) dengan nasionalisme dalam semangat antipenjajahan. Hubbul wathan minal iman, membela negara adalah bagian dari iman. Santri-santrinya diwajibkannya ikut melawan penjajah baik secara langsung maupun tidak langsung. Kiai Hasyim pun aktif berjuang, bahkan sempat dipenjara beberapa lama.
Sila keempat Pancasila juga diamalkan yakni penghormatan terhadap musyawarah dan pluralisme dalam perwakilan. Kiai Hasyim menentang Raja Saudi yang tidak memperbolehkan Islam selain Sunni untuk pergi ke Mekkah. Bagi Kiai Hasyim, semua jenis tafsiran Islam harus dihormati.
Soal sila pertama tak perlu diragukan lagi, karena Mbah Hasyim tidak hanya sangat menghormati panggilan Allah lewat azan, namun ia juga rela dipenjara karena mempertahankan akidahnya, bahkan nyawa pun siap dikorbankan untuk itu.
Tidak hanya tegas dalam berbicara, Mbah Hasyim juga merupakan sosok yang berani dalam tindakan. "Kita harus malu dengan Mbah Hasyim, karena apa yang kita lakukan sekarang, ternyata tidak ada apa-apanya dengan apa yang beliau lakukan," tutur Christine Hakim yang meraih enam Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik itu. (*)