Konsul Jepang di Surabaya: Sikapi Positif Lapindo
Senin, 4 Februari 2013 17:09 WIB
Surabaya - Konsul Jenderal Jepang di Surabaya Noboru Nomura menyarankan masyarakat Indonesia untuk menyikapi bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, secara positif, karena bencana alam itu di luar kontrol manusia.
"Bencana itu jangan disikapi negatif, karena bencana itu di luar kontrol manusia. Sikapi bencana dengan positif, karena itu sebaiknya manfaatkan saja lumpur Lapindo itu untuk batu bata, bahan keramik, dan sebagainya," katanya di kampus ITS Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan hal itu saat menghadiri pembukaan workshop bertajuk "Geological Disaster Problems in Indonesia and Their Countermeasures" yang merupakan kerja sama Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim LPPM ITS Surabaya dengan Kyoto University, Jepang.
Di hadapan 50-an mahasiswa Indonesia yang merupakan alumni dari berbagai universitas di Jepang yang mengikuti seminar yang dibuka Rektor ITS Surabaya Prof Ir Tri Yogi Yuwono DEA itu, ia mencontohkan sikap positif masyarakat Simeulue, Aceh, berupa dongeng bencana.
"Dongeng tsunami Aceh pada 100 tahun lalu membuat masyarakat di Simeulue, Aceh, justru selamat dari tsunami besar pada 2004, karena dongeng tsunami itu dilestarikan masyarakat setempat, sehingga mereka lari ke bukit saat tsunami datang seperti dalam dongeng itu," katanya.
Menurut dia, masyarakat Jepang juga belajar banyak dari bencana tsunami besar pada 2011 dan 2012 tentang perlunya memadukan teknologi dengan ilmu-ilmu sosial, sebab dengan cara itu maka para teknolog akan memperhatikan dampak sosial dari teknologi.
"Dalam tsunami itu, dampak sosialnya ternyata ada dengan adanya radiasi nuklir akibat rusaknya PLTN Jepang, karena itu manajemen bencana itu memerlukan berbagai disiplin ilmu untuk menanggulangi dan memulihkan pascabencana," katanya.
Ia menilai tidak ada negara yang memiliki manajemen penanganan bencana yang sesuai standar, karena bencana memang di luar kontrol manusia. "Standar itu tidak ada, karena bencana itu ada dalam kontrol Tuhan," katanya, tersenyum.
Dalam workshop itu juga dilakukan telekonferens antara Universitas Kyoto Jepang dengan peserta workshop di kampus ITS, karena peneliti Universitas Kyoto Prof James Mori yang meneliti lumpur Lapindo pada tahun 2005 tidak dapat hadir.
"Yang jelas, kalau pengeboran di kawasan Lapindo itu memenuhi standar eksplorasi, tentu bencana itu tidak akan terjadi, karena pengeboran serupa tidak seperti itu," kata ahli geologi UI yang juga Penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr Ir Andang Bachtiar.
Didampingi rekannya Ketua Pusat Studi Kebumian ITS Dr Amien Widodo, ia mengatakan faktor penyebab lumpur Lapindo itu ada dua versi. "Kalau ahli geologi yang tidak memiliki pengalaman praktis dalam minyak dan gas akan berpendapat faktor alam sebagai penyebab, tapi kalau ahli yang mengerti migas akan cenderung berpendapat 'human error'," katanya.
Setelah workshop, sejumlah peserta dari Universitas Kyoto Jepang meninjau lokasi lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. "Peserta dari Jepang yang tidak meneliti lumpur Lapindo memang tidak tahu, karena itu mereka ingin ke sana," kata panitia workshop dari LPPM ITS, Kriyo Sambodho. (*)