"Open Access" Habisi Monopoli Jurnal Komersial
Selasa, 29 Januari 2013 11:31 WIB
Surabaya - Direktur Riset Perpustakaan "Max Planck Institute" Berlin, Jerman, Urs Schoepflin menegaskan bahwa munculnya "Open Access" merupakan gerakan untuk menghabisi monopoli penerbit jurnal ilmiah komersial.
"Peneliti selama ini harus membayar mahal untuk memasukkan hasil penelitian ke dalam jurnal ilmiah yang dikelola penerbit jurnal ilmiah secara komersial," katanya dalam seminar di Perpustakaan UK Petra Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan hal itu dalam seminar bertajuk "Open Access: The Future of Repositories and Scholarly Publishing" yang juga dihadiri dosen dan peneliti di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Melbourne, Australia, Putu Laxman Pendit PhD.
"Penerbit jurnal ilmiah yang bagus selama ini memonopoli penelitian dan artikel untuk kepentingan komersial, karena peneliti yang mempublikasikan hasil penelitiannya tidak dibayar, namun penelitian itu dijual kepada peneliti atau universitas dengan tarif yang mahal," ucapnya.
Sekitar 10 tahun yang lalu, katanya, hanya ada satu cara mempublikasikan karya akademik/penelitian dari komunitas perguruan tinggi, yaitu melalui "commercial journal publishers" (penerbit jurnal ilmiah komersial).
"Hal itu mengakibatkan monopoli dan hegemoni dari para penerbit komersial ini. Mereka dapat menentukan harga berlangganan berbagai jurnal tanpa adanya saingan atau pihak lain yang dapat mengontrolnya," tukasnya.
Akibatnya adalah sangat tingginya dana yang harus dikeluarkan oleh komunitas perguruan tinggi dalam upayanya menyediakan akses ke hasil-hasil penelitian terbaru bagi sivitas masing-masing.
"Saking tingginya harga berlangganan ini, sampai-sampai universitas sebesar Harvard pun sudah membuat pernyataan secara terbuka bahwa mereka tidak mampu lagi melanggani sejumlah jurnal, yang sesungguhnya masih mereka butuhkan," ujarnya.
Bahkan, gerakan untuk memboikot sejumlah penerbit jurnal komersial yang dilakukan oleh ribuan ilmuwan/peneliti senior pun muncul sebagai bentuk protes mereka terhadap para penerbit jurnal komersial ini.
"Mereka menolak menerbitkan hasil-hasil penelitian mereka di penerbit komersial, menolak menjadi reviewer atau editor dari penerbit komersial, dan sebagainya," kata peneliti ini.
Menurut dia, kondisi seperti itu memunculkan respons berupa munculnya berbagai penerbit jurnal "open access" yang mengupayakan agar biaya tidak lagi menjadi penghalang bagi penyebaran informasi dan hasil-hasil penelitian demi pengembangan iptek.
"Bedanya, peneliti yang ingin mempublikasikan hasil penelitiannya harus membayar sekitar 400-500 dolar AS untuk biaya operasional dan membangun sistem yang dilakukan penerbit jurnal 'Open Access' itu," katanya.
Ia menambahkan "Open Access" itu akan meningkatkan kredibilitas peneliti yang hasil penelitiannya dikutip peneliti lain, sedangkan upaya penjiplakan (plagiarism) yang selama ini meresahkan masyakarat akademik akan sulit berkembang karena pemantau jurnal 'Open Access' itu banyak.
"Karena itu, berbagai perguruan tinggi terkenal dunia juga telah mulai menerapkan Open Access Mandates yang mewajibkan semua penelitian yang dibiayai oleh pajak (dana masyarakat) untuk diterbitkan hanya di penerbit Open Access," tuturnya.
Seminar yang digelar Perpustakaan UK Petra bekerja sama dengan Goethe-Institut dan Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Timur itu digelar "roadshow" dari Surabaya (UK Petra Surabaya), Medan, hingga Jakarta (UI). (*)