Sosiolog: Calon Pemimpin Daerah Terganjal Elite Politik
Rabu, 28 November 2012 18:55 WIB
Surabaya - Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tamrin Amal Tomagola menyatakan banyak calon pemimpin andal ada di daerah-daerah, tapi keberadaannya untuk muncul di pentas perpolitikan Nasional selalu terganjal oleh elite politik.
"Ada mutiara terpendam di daerah. Tapi keberadaannya selalu diganjal elite politik," kata Tamrin saat menjadi pembicara di acara Diskusi Publik "Solusi Kepemimpinan Nasional" yang digelar Institut Kepemimpinan dan Sistem Politik Indonesia di Surabaya, Rabu.
Selain itu, lanjut dia, ganjalan lainnya adanya politik dinasti dimana kepemimpinan Nasional diteruskan olah kerabat atau keluarganya yang tidak memiliki keahlian atau rekam jejak yang bisa diandalkan.
"Rayap dulu di bawah (mengawali karir politik dari bawah atau akar rumput), jangan kemudian ujuk-ujuk di atas," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menekankan agar masyarakat cerdas dengan memilih pemimpin muda berintegritas, punya basis akar rumput yang jelas.
Tamrin mengatakan para pemimpin Nasional dilahirkan dari lima rahim. Pada rahim pertama dilahirkan sebelum Kemerdekaan RI dengan munculnya tokoh Nasional seperti Soekarno, Hatta, dan lainnya.
"Mereka semua adalah intelektual yang kaya membaca. Mereka membaca sari pati dari berbagai ideologi seperti komunis, liberal, Islam," katanya.
Selain itu, lanjut dia, mereka meniti karir politiknya mulai dari bawah yakni tingkat RT/RW kemudian kelurahan atau desa hingga ke Nasional.
"Belajar dari rahim pertama itu, pemimpin tidak karbitan," katanya.
Sedangkan pada rahim kedua yakni alumni AKABRI dari Gunung Tidar Magelang. "Di kalangan militer saat itu, ada pemahaman mereka punya hak sejarah memimpin Negeri ini. Padahal yang merobek bendera Belanda saat itu adalah rakyat biasa atau Arek-arek Suroboyo bukan militer," katanya.
Kemudian muncul rahim ketiga dengan munculnya organisasi pelajar dan mahasiswa. Mereka yang aktif tergabung dalam kelompok Cipayung seperti HMI, GMNI dan lainnya.
"Mereka sekedar tidak kutu buku, tapi mereka aktivis pergerakan. Pada Orde Baru, organisasi seperti itu dipasung, namun mereka bisa mengatasi dengan munculnya tokoh Nasional seperti Akbar Tanjung dari HMI," katanya.
Namun pada rahim keempat lahirkan tokoh Nasional yang berasal dari orang-orang bisnis yang terjun ke dunia politik. "Mereka berjas, berdasi dan wangi serta jam tangan yang mahal. Bahkan ada anggota DPR yang mempunyai jam tangan yang harganya mencapai Rp75 juta," katanya.
Rahim kelima adalah munculnya fenomena Jokowi. Ini adalah cahaya di lorong kegelapan yang bersinar saat ini. "Bangsa ini sudah muak dengan adanya korupsi elit politik, manipulasi, isu sarah yang menghatam kelompok minoritas.
"Munculnya seorang yang badannya ringkih (Jokowi) kayak Panglima Soedirman yang dengan lugunya masuk ke kampung-kampung. Ini natural tidak dibuat-buat," katanya.
Sebetulnya, lanjut dia, ada cahaya di ujung jalan. Artinya fenomena itu tidak hanya muncul di Jakarta, tapi juga muncul di Surabaya dengan keberadaan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
"Risma bersedia mengurus Surabaya lebih baik, bersih, asri, rapi dan tertata. Pikirannya 'service delivery' atau pelayanan bisa sampai ke lapangan," katanya.
Dalam diskusi tersebut juga dihadiri sejumlah narasumber di antaranya Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Pengamat Politik Awad Bahasoan dan selaku moderator Arbi Sanit. (*)